Selasa, 26 Maret 2013

Rasulullah dan ajaran bersetubuh

Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
mengerjakannya dianggap suatu ibadah. Sebagaimana keterangan Nabi Muhammad saw.:

"Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknnya pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan
dapat menahan diri.

Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

"Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun masakan masih diatas api tungku." (H.r.Tarmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).

Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tidak terkontrol.

Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
"Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan,atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt. adalah Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa.

Nabi Muhammad saw. bersabda:
"Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).

Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi Muhammad saw. menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam,dengan melupakan hak-hak isterinya.

Beliau bersabda:
"Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak."
Sedangkan adab/tatacara bersetubuh yang dianjurkan dalam islam yaitu :


1."Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:

"Ya Allah,jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku'."

Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,maka tidak akan diganggu oleh setan."

2. Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut,
jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."

Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:

Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
1.Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.


Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi Muhammad saw. telah
menyatakan:

"Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan wewangian."

Selanjutnya Nabi Muhammad saw. bersabda:
"Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

3. Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya,sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini.

Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah swt.:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu,Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu:

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (Q.s. l-Baqarah 187).

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).


Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.

Pada ayat di atas disebutkan:
"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).

Perihal hubungan seksual (bercinta), Rasulullah SAW memberi petunjuk yang sangat sempurna, beralas etika dan estetika Rabbaniyah (ketuhanan). Bercinta tidak saja untuk menyehatkan jiwa, namun juga memberi kepuasan serta kenikmatan jiwa. Pitutur Rasulullah SAW tentang bercinta (senggama) adalah nasehat paripurna, utamanya demi menjaga kesehatan tubuh, mental, dan spiritual, berikut mewujudkan tujuan bersenggama itu sendiri. Diantara tujuan hubungan seksual menurut ajaran Islam ialah:
1. Melahirkan dan menjaga kelangsungan keturunan. Dengan kelahiran putra-putri buah senggama, nantinya diharapkan akan lahir generasi penerus bagi keluarga dan kommunitas serta kesinambungan suatu bangsa;
2. Mengeluarkan air (sperma) berdampak positif bagi tubuh. Sebab apabila iar sperma dibiarkan mengendap di dalm tubuh tanpa disalurkan ke ladang tempat bercocok tanam (fitrah penyaluran), akan berdampak buruk bagi tubuh maupun mental seseorang;
3. Media untuk menyalurkan hajat, guna merengkuh kenikmatan surga duniawi. Bedanya, bersenggama di dunia bisa melahirkan anak, sedang di surga keabadian tidak akan membuahkan anak, semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan baik, sesuai dengan etika dan estetika, serta aturan luhur yang selaras dengan nilai-niilai ajaran Islam.

Etika Sebelum Bercinta
Ajaran Islam mengajarkan etika senggama, yang harus dipahami setiap Muslim. Ada banyak ayat al-Quaran dan Sunnah Nabi yang menuturkan masalah etika bercinta ini. Karenanya, sebelum bercinta, setiap Muslim harus memperhatikan etika (adab) dan prasyarat bersenggama sebagai berikut:
Pertama, Tidak Menolak Ajakan Bercinta. Secara tabiat maupun fitrah, para lelaki lebih agresif, tidak memiliki energi kesabaran, serta kurang bisa menahan diri dalam urusan making love ini. Sebaliknya, para wanita cenderung bersikap pasif, pemalu, dan kuat menahan diri. Oleh sebab itu, diharuskan bagi wanita menerima dan mematuhi ajakan suami untuk bercinta. Dalam sebuah hadis dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Jika seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk (HR Turmudzi). Ajaran Islam tidak membenarkan perilaku para istri yang menolak ajakan suami mereka untuk bercinta. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, ‘nanti dulu’, sehingga suaminya tidur sendirian (HR Khatib). Dalam hadis lain dituturkan: Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, Bersih dan Suci. Haid adalah penyakit bulanan yang tidak suci, wanita yang sedang haid berarti tidak suci. Karenanya, para suami yang istri mereka sedang mengalami datang bulan dilarang mensetubuhinya selama waktu haid. Manakala darah haid sudah berhenti, maka wajib bagi wanita membersihkan tubuhnya dengan air. Kemudian mengambil ‘secuil’ kapas atau kain, lalu melumurinya dengan kasturi atau bahan pewangi lainnya yang beraroma semerbak menawan, kemudian membilas bagian tubuh yang terlumuri darah saat haid, sehingga tidak ada lagi bau tak sedap pada tubuh sang wanita. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah Ra dituturkan, suatu hari, ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang cara bersuci (membersihkan diri) sehabis datang bulan. Rasulullah SAW bertutur kepada wanita tersebut: Ambillah bahan pewangi dari kasturi. Bersihkan dirimu dengannya. Wanita itu bertanya: Bagaimana caraku membersihkan tubuh? Rasulullah SAW menjawab: Bersihkan tubuhmu dari noda haid. Wanita itu bertanya lagi: Bagaimana caranya? Rasulullah SAW menjawab: Subhanallah, bersihkan dirimu! Aisyah Ra melanjutkan penuturannya: Aku lantas membisiki wanita itu, ‘Bilas tubuhmu yang terlumuri darah haidmu dengan pewangi kasturi’ (HR Bukhari).
Allah Azza wa Jalla juga menyatakan di dalam firman-Nya, bahwa syarat untuk melakukan hubungan badan ialah harus dalam kondisi suci. Kesucian tubuh dari ‘penyakit’ haid adalah demi mewujudkan seks sehat, sebagaimana firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah. Haid itu adalah kotoran (penyakit). Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222).
Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW (HR Abu Daud). Dalam riwayat lain dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Datangilah istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi awas (jangan menyetubuhi) pada dubur dan (jangan pula) dalam keadaan haid (HR Akhmad dan Tirmidzi). Lain daripada itu, selain harus suci – tidak haid dan nifas – pasangan Muslim harus bersih-bersih diri sebelum bercinta, agar tubuh mereka bersih dan percintaan yang dilakukan sehat.
Ketiga, Bercinta Sesuai Aturan Syariat. Salah satu tujuan making love (bercinta) adalah untuk melahirkan keturunan. Dan proses kelahiran hanya terjadi manakala terjadi pembuahan sperma laki-laki dan perempuan dalam rahim. Karenanya, bercinta harus dilakukan dengan cara yang benar, yatitu melalui tempat yang semustinya, bukan melalui anus (dubur) maupun lisan (oral sex) – sebagaimana yang jamak dilakukan orang-orang yang memiliki kelainan seksual, serta orang yang tidak paham niali-nilai agama. Lain daripada itu, bersenggama tidak sesuai aturan sama halnya menafikan kehormatan wanita yang disetubuhinya. Dan cara seperti itu mustahil bisa melahirkan keturunan. Ajaran Islam memberi syarat, bahwa senggama harus ditempatkan pada tempat yang semustinya, yaitu vagina wanita, bukan melalui anus (dubur) atau mulut wanita (seks oral). Sebab percintaan yang dilampiaskan pada tempat selain vagina, mustahil dapat membuahkan keturunan. Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla berfirman: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS. al-Baqarah/2: 223).
Keempat, Berhias Diri. Diantara syarat bercinta ialah masing-masing pasangan – suami istri – harus berhias diri untuk menyenangkan dan menggairahkan percintaan yang hendak dilakukan. Diantara cara berhias diri dalam bercinta adalah:
1. Mambagusi bagian tubuh, yang merupakan lima organ fitrah, sebagaimana dituturkan Rasulullah SAW: Lima hal yang termasuk fitrah (sesuci), yakni mencukur kumis, mencukur bulu ketiak, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan khitan.
2. Menggunakan wewangian, yang paling utama adalah kasturi. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa tatkala seorang sahabat yang memberitahu Rasulullah SAW tentang adanya seorang wanita yang memerciki cincinnya dengan kasturi, Rasulullah SAW bersabda: Kasturi adalah sebaik-baik wewangian.
3. Memakai celak, dan jenis celak terbaik ialah yang terbuat dari bahan itsmid. Abdullah bin Abbas meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik celak kalian adalah yang terbuat dari bahan itsmid. Ia dapat menajamkan penglihatan, serta menumbuhkan rambut. Al-Qur’an juga mengisyaratkan anjuran berhias diri bagi kaum wanita, sebagaimana firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (QS. al-Baqarah/2: 234) Sayyid Qutub dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa redaksi al-Qur’an membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut adalah bukti otentik, dibolehkannya bagi kaum wanita untuk berhias diri, hal mana yang demikian itu dilakukan dengan tujuan agar datang lelaki meminangnya.

Kelima, Berdoa. Diantara etika seks dalam Islam ialah membaca doa sebelum melakukan persetubuhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama membaca doa: Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana ma ruziqnaa (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak keturunan). Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan tidak goyah diperdaya setan, akan tetapi serta selalu dekat kepada Allah.
Keenam, Mencari tempat bercinta yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi diantara suami istri pada waktu bercinta. Diantara syarat bercinta dalam Islam ialah mencari tempat yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi pada saat bercinta, baik istri maupun suami, tidak diperkenankan menceritakan ‘geliat’ percintaan yang dilakukannya kepada orang lain. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Said Khudri, ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: Selazimnya bagi kaum lelaki diantara kalian yang hendak memenuhi hajat biologisnya, mencari tempat yang nayaman, jauh dari hiruk pikuk keluarganya, dan menutup pintu rapat-rapat, serta mengenakan sehelai kain, barulah bercinta (bersetubuh). Kemudian apabila telah selesai bercinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan badannya kepada orang lain. Selazimnya bagi kaum wanita diantara kalian, yang hendak memenuhi hajat biologis, mencari tempat yang nyaman, menutup pintu rapat-rapat, dan mengenakan sehelai kain untuk menutup tubuhnya. Dan jika selesai memuaskan dahaga cinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan intimnya kepada yang lain. Salah seorang wanita berujar: Demi Allah, wahai utusan Allah, kebanyakan daripada kaum wanita menceritakan apa yang mereka alami saat senggama kepada yang lain, serta jamak melakukan percintaan di tempat terbuka. Rasulullah SAW berkata tegas. Janganlah kalian melakukan hal seperti itu – menceritakan sesuatu saat senggama dan bersetubuh di tempat terbuka, serta bertelanjang bulat. Sebab perbuatan seperti itu, sama persisnya dengan perbuatan setan pria bertemu dengan setan wanita di tengah jalan, lalu bersetubuh di tempat terbuka, setelah setan pria selesai melampiaskan dahaga seksnya, lantas meninggalkan si wanita begitu saja. Rasulullah SAW juga meyerukan untuk mengenakan kain saat bercinta, sebagaimana sabdanya: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah maha lembut, maha malu, maha menutup diri. Dia mencintai rasa malu dan menutup aurat. Menutup aurat, tidak saja dalam ‘laku’ kehidupan di ruang publik, tetapi juga saat bercinta.
Ketujuh, Tidak bercinta saat melakukan iktikaf atau sedang dalam kondisi berihram. Orang yang sedang menjalankan iktikaf di masjid tidak boleh bersenggama, demikian pula orang yang sedang berihram, juga tidak boleh bercampur dengan pasangannya, sebagaimana diwartakan al-Qur’an: Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangnlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. al-Baqarah/2: 187). Usman bin Affan meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bertutur: Orang yang sedang melaksanakan ibadah Ihram tidak boleh bersenggama, maupun menikah atau melamar (HR Muslim). Dalam riwayat Turmudzi disebut dengan redaksi: Saat berihram dilarang bersetubuh.
Kedelapan, tidak bercinta dengan istri yang sedang datang bulan (haid). Ajaran Islam melarang pasangan suami istri bercinta saat sang istri sedang datang bulan. Sebab haid adalah penyakit, dikhawatirkan bayi yang lahir dari buah senggama pada kondisi seperti itu akan tidak sempurna (cacat). Allah menjelaskan dalam al-Qur’an: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereke, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan meyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222). Ajaran Islam juga melarang suami menggauli istrinya ketika dalam keadaan nifas – usai melahirkan. Alasannya jelas, bahwa bercinta dalam ajaran Islam adalah termasuk laku ibadah, karenanya harus dilakukan pada waktu kondisi baik.
Kesembilan, memperhatikan kondisi fisik. Waktu yang paling tepat untuk melakukan hubungan badan adalah saat kondisi fisik dalam keadaan fit (segar bugar), yakni pencernaan makanan lancar, tensi tubuh seimbang antara panas dan dingin, kondisi perut tidak kenyang dan tidak lapar. Sebab bersenggama dalam keadaan tubuh tidak fit, pencernaan makanan tidak lancar, tensi tubuh terlalu panas maupun terlalu dingin, perut terlalu lapar maupun kenyang, akan membuat hububgan badan kehilangan maknanya, dan tidak bisa dinikmati bahkan melahirkan madharat (mara bahaya). Bersenggama dalam keadaan perut lapar lebih berbahaya ketimbang perut dalam keadaan kenyang. Lain daripada itu, tidak akan bisa merengkuhi nikmat senggama, lebih-lebih memberi kepuasan seksual kepada pasangan hidup. Rasulullah SAW bersabda: Jika seseorang diantara kamu bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya sebelum istri mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan kepuasan (HR Abdul Razaq).


Etika Saat Bercinta
Hubungan suami istri dalam Islam diatur dengan peraturan yang santun dan penuh etika, sehingga senggama yang dilakukan serasa indah dan nikmat. Diantara etika yang harus diperhatikan pasangan suami istri yang menyalurkan hasrat biologisnya ialah:
Pertama, Pemanasan Cinta (fore play). Dalam sebuah hadis dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Seseorang diantara kamu janganlah sekali-kali menyetubuhi istri seperti seekor hewan bersenggama, tetapi hendaklah ia dahului dengan perantaraan (pemanasan). Salah seorang sahabat ada yang bertanya, Apakah perantaraan itu? Rasulullah SAW berujar: Yaitu ciuman dan ucapan romantis (HR Bukhari dan Muslim). Cumbu rayu sebelum bercinta merupakan alat vital membangkitkan gairah seksual. Maka selazimnya bagi seorang suami untuk melakukan ‘gerakan’ pemanasan sebelum bercinta, dengan bisikan kata-kata manis nan mesra kepada sang istri, semisal: memuji kecantikannya, kemulusan tubuhnya, mengapresiasi dedikasi dan ketaatannya, agar sang istri benar-benar tersanjung dan fokus dengan percintaan yang hendak dilakukan. Dengan demikian, jiwa sang istri bakal menyatu dengan jiwa sang suami dalam bercinta.
Setelah jiwa sang istri terpanggil (muncul gairah) untuk bercinta, hendaknya sang suami beralih dari ‘bahasa kata’ ke ‘bahasa gerak’. Caranya, dengan mencium kening sang istri, mengulum bibirnya dengan penghayatan yang utuh, lalu menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif wanita, mendekap erat tubuh sang istri, merasakan detak nafasnya, sehingga keduanya tidak saja lekat secara ragawi, namun juga secara ruh. Rasulullah SAW sangat memperhatikan pemanasan cinta ini, sebagaimana tersirat dalam sabdanya: Janganlah sampai salah seorang diantara kalian menggauli isterinya seperti binatang, melainkan hendaknya dilakukan pemanasan diantara keduanya. Salah seorang sahabat bertanya: Apakah sejatinya yang dimaksud dengan pemanasan itu, wahai utusan Allah? Rasulullah SAW menjawab: Ciuman dan kata-kata rayuan (HR al-Dailami). Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW dengan tegas melarang bercinta (senggama) yang tidak didahului dengan pemanasan cinta. Jabir menandaskan: Rasulullah SAW melarang persetubuhan sebelum dialkukan cumbu rayu (pemanasan cinta).
Seorang suami selazimnya mengetahui bagian-bagian tubuh wanita yang erotis, dan ‘menjelajahinya’ (menyentuhnya) saat bercinta, itu dilakukan demi menggapai kenikmatan senggama. Diantara bagian-bagian sensitif dan erotis tubuh wanita ialah: kening, pelupuk mata, hidung, pipi, tengkuk, leher, daun telinga dan belakang telinga, puting payudara, bibir dan lidah, mulut bagian dalam, paha, ketiak, perut terutama pusar perut, daerah sekitar kemaluan (vagina), tumit. Bagian-bagian tubuh tersebut merupakan zona erotis yang musti disentuh para suami, guna membangkitkan rangsangan seksual pada saat bercinta. Hubungan intim antara suami istri sering hambar (tak bernilai) atau bahkan gagal, oleh sebab mengabaikan pemanasan cinta (fore play) tersebut. Sebab senggama tanpa pemanasan hanya bersetubuh. Sedang bercinta perlu ‘kebangkitan’ rasa dan ruh.
Kedua, Mengulum dan Mengisap Lidah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dituturkan, bahwa sesungguhnya saat bercinta Rasulullah SAW mencium dan mengulum bibir Aisyah. Rasulullah SAW juga mengisap lidah istri terkasihnya tersebut (HR Abu Dawud). Mengulum bibir dan mengisap lidah adalah tanda kepasrahan seutuhnya dalam bercinta. Cara bercinta seperti ini juga membantu para suami untuk tetap ‘perkasa’ (digdaya) dalam hubungan intim. Lebih daripada itu, kuluman dan hisapan juga menambah rasa nikmat senggama, oleh sebab bersatunya nafas pasangan suami istri yang bersetubuh. Karenanya, sebelum bercinta para suami dan istri disunnahkan bersih-bersih diri. Lain daripada itu, kuluman bibir dan isapan lidah akan membuat istri terpacu untuk pasrah jiwa raga secara utuh kepada sang suami. Dan kepasrahan yang utuh dalam bercinta akan melapangkan jalan bagi raihan kenikmatan hakiki senggama.
Ketiga, Tenang dan Lembut. Hubungan intim dengan istri harus dilakukan dengan tenang dan lembut. Masing-masing diantara suami istri tidak seharusnya berbuat gaduh, semisal dengan bersuara untuk mengekspresikan kenikmatan yang direguknya, lebih-lebih tergesa-gesa dalam ‘menyentuhkan’ organ vital ke pasangannya. Ketika sang suami hendak memasukkan penis ke dalam vagina istrinya, hendaknya dilakukan dengan tenang dan lembut. Masing-masing harus membaca basmalah. Ketenangan dan kelembutan dalam bercinta sangatlah penting, sebab hal itu akan menyembulkan rasa dan menghadirkan kenikmatan yang utuh, sehingga senggama yang dilakukan bisa melahirkan kepuasan. Dalam hadis yang diriwayatkan Ummu Salamah, dituturkan, bahwa saat bercinta Rasulullah SAW berpesan kepada istrinya untuk tenang. Rasulullah SAW lalu memejamkan mata istrinya, dan menutup kepala sang istri, sambil berujar lembut: Tenanglah engkau wahai belahan jiwaku.
Keempat, Bercinta dengan Posisi Terbaik. Dalam bersenggama, hendaknya diperhatikan dengan seksama posisi bercinta, agar laku senggamanya tidak keluar dari aturan syariat Islam, atau bahkan dimurkai Allah. Rasulullah SAW bersabda: Datangilah istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi awas (jangan menyetubuhi) pada dubur dan (jangan pula) dalam keadaan haid (HR Ahmad dan Tirmidzi). Dalam ajaran Islam posisi bercinta terbaik ialah: suami berada di atas dengan posisi istri terlentang di bawah tubuh sang suami, laksana hamparan. Dalam sebuah riwayat dituturkan: Anak bakal menjadi milik yang menjadi hamparan (istri). Posisi bercinta yang seperti itu, tidak saja membuat para suami leluasa bergerak, namun juga membuat para istri merasa nyaman, dan merasakan kepuasan seksual. Sebab dengan posisi bercinta seperti itu, memungkinkan alat kelamin sang suami menancap dalam-dalam ke vagina sang istri. Andaipun penis sang suami berukuran besar, ‘lahan’ sang istri bisa menampungnya secara utuh, sebab paha sang istri bisa dihamparkan seluas mungkin. Lebih daripada itu, dengan posisi seperti ini, masing-masing pasangan bisa berimprovasi dalam bercinta.
Karenanya, bani Hawa (kaum wanita) disebut juga al-Firasy (permadani), sebagaimana dituturkan sang Rasulullah SAW: Membuat anak adalah dengan permadani. Ungkapan Rasulullah SAW tersebut merupakan sebuah kiasan (metafora) serta penegasan bahwa dengan posisi perempuan berada di bawah saat bersetubuh, akan mempercepat proses pembuahan janin yang membuahkan (dapat melahirkan) anak, berikut merupakan penegasan akan ketinggian kaum laki-lai terhadap kaum wanita, sejalan dengan pesan al-Quran: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS al-Nisa’ / 4: 34). Kaitannya dengan posisi bersenggama ini, Allah berfirman dalam pesan al-Quran: Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (QS al-Baqarah / 2: 187).
Ada sebagian pasangan suami istri yang suka posisi wanita di atas dan laki-laki di bawah. Posisi semacam itu jelas tidak sesuai dengan posisi normal dan bertentangan dengan kodrat penciptaan laki-laki dan perempuan, serta berseberangan dengan ‘hukum’ kelaki-lakian dan kewanitaan. Posisi semacam itu banyak melahirkan madharat (risiko bahaya), sebab akan menyulitkan keluarnya sperma, lebih daripada itu, air sperma yang keluar tidak akan tertampung ke ovum dalam vagina perempuan. Bahaya lainnya ialah tumpahnya kotoran-kotoran dari vagina perempuan ke penis serta tubuh laki-laki, juga sperma laki-laki tidak akan sampai ke rahim perempuan, yang menyebabkan tidak adanya pembuahan janin. Apabila tidak ada pembuahan, bagaimana mungkin akan terjadi kehamilan dan kelahiran? Lain daripada itu, secara kodrati posisi perempuan dalam hal seksualitas ini adalah sebagai objek sedangkan laki-laki adalah subjek, demikian pula secara kodrati laki-laki lebih kuat ketimbang perempuan. Secara semantis, logikanya, subjeklah yang mempola objek, bukan objek yang mengatur subjek.
Dalam sebuah riwayat dituturkan, kaum Ahlul Kitab (pemeluk Yahudi dan Nasrani) menggauli perempuan mereka dari samping, bukan dari atas atau bawah, menurut pengakuam mereka posisi dari samping itu sangat menguntungkan bagi wanita, serta gerakan wanita jadi lebih ‘trengginas’ (gesit) dalam bersetubuh. Dikisahkan pula, kaum tradisional Quraisy dan Anshar jamak mulai mencumbu perempuan mereka dari arah bagian belakang kepala. Komunitas Yahudi memprotes cara bercinta komunitas Quraisy dan Anshar tersebut, sehingga turunlah ayat al-Quran: Istri-istri kamu adalah bagaikan tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tenah tempat bercocok tanam-mu itu bagaiman saja kamu kehendaki (QS al-Baqarah / 2: 223).
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, dituturkan hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah. Ada seorang pemeluk Yahudi berkata: Jika seorang menggauli istrinya dari arah belakang dengan cara memangkunya, maka anaknya akan lahir cacat mental, maka turunlah ayat ayat al-Quran: istri-istri kamu adalah bagaikan tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam-mu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS al-Baqarah / 2: 223). Imam Muslim juga meriwayatkan, kalau si laki-laki suka, ia bisa mengangkat bahu si perempuan saat dipangku, kalau tidak suka tidak perlu diangkat, yang penting zakarnya tidak dimasukkan kepada selan vagina. Adapun bersenggama dengan cara-cara seperti binatang, oral seks, sodomi, serta gaya-gaya ‘liar’ lainnya, sangat dikecam para nabi dan rasul terdahulu, dan jelas dilarang keras oleh agama.
Kelima, Bercinta pada Tempatnya. Hubungan intim harus dilakukan sesuai dengan fitrah dan kodrat penciptaan. Pria sebagai makhluk pejantan, saat bersenggama harus menyalurkan hasrat kelaki-lakiannya pada tempat yang benar pada tubuh wanita, yaitu melalui vagina. Ajaran Islam melarang keras hubungan seksual yang dilampiskan dengan cara sodomi – bersenggama melalui anus, atau oral maupun cara-cara seks yang menyimpang dari kodrat insaniah. Rasulullah SAW bersabda: Datangilah istrimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi awas (jangan menyetubuhi) pada dubur dan (jangan pula) dalam keadaan haid (H.R. Ahmad dan Tirmidzi). Sebagai makhluk yang dikaruniai akal, sungguh tidak logis manusia bercinta dengan cara binatang.
Para alim nan bijak menuturkan: Meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya adalah perbuatan zalim. Waraskah makhluk yang mengaku sebagai Manusia bercinta meniru tabiat binatang? Lihatlah kambing, sebelum bersetubuh, kambing jantan mencium dan menjilat kelamin kambing betinanya. Lihatlah cara senggama manusia-manusia Barat, mereka tak malu-malu mebinatangkan diri mereka dengan gaya-gaya seks sodomi, oral seks, senggama sejenis – homo dan lesbi, dan dilakukan secara terbuka dan telanjang bulat. Gaya seks mereka sama persisnya dengan gaya setubuh kambing, anjing, dan hewan-hewan lainnya. Padahal dalam Islam, bercinta dengan telanjang bulat dianggap sebagai perilaku tak sopan. Lebih-lebih bercinta dengan gaya-gaya yang keluar dari kodrat insaniah. Rasulullah SAW bersabda: Apabila seseorang menggauli istrinya maka hendaklah ia berselimut dan janganlah ia bertelanjang sebagainya telanjangnya dua ekor unta.
Abu Dawud dari hadis Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: Adalah sangat tercela dan teramat nista orang yang menggauli wanitanya melalui anus. Imam Ahmad menandaskan dari hadis riwayat Ibnu Majah: Allah tidak akan sudi melihat seseorang yang menggauli istrinya dari anusnya. Imam Turmudzi dan Ahmad meriwaytkan: Barang siapa yang menggauli perempuan yang sedang haid, atau bersetubuh dengan perempuan melalui duburnya, serta mendatangi paranormal dan mempercayai petuahnya, ia sejatinya telah kafir terhadap risalah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Imam Baihaqi menegaskan: Barang siapa menggauli perempuan dari anusnya, berarti ia telah kafir. Dalam riwayat yang dituturkan Umar bin Khattab ditandaskan, bahwasanya Rasulullah Muhammad SAW bersabda: Allah tidak malu dengan kebenaran. Jangan kau gauli perempuan dari pantat mereka. Rasulullah lalu menegaskan perkataannya. Jangan gauli perempuan melalui anus mereka. Imam Turmudzi meriwayatkan dari hadis Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda: Janganlah kalian menggauli istri kalian dari pantat, Sesungguhnya Allah tidak malu menuturkan kebenaran.
Sa’id binYahya al-Umawiy meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian menggauli istri kalian dari pantatnya. Dalam riwayat Abu Darda ditandaskan: Barang siapa menggauli laki-laki (homo) atau perempuan dari pantat mereka, berarti ia telah kafir. Diriwayatkan dari Ismail bin Iyas dari Sahal bin Shalih dari Jabir, sabda Rasul SAW, Malulah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Janganlah kalian menggauli perempuan dari anus mereka. Imam al-Daruqutni juga meriwayatkan hadis yang sama, sabda Nabi SAW, Allah tidak malu dari kebenaran. Tidak dihalalkan menggauli perempuan dari anus mereka.
Imam Ahmad menandaskan, bahwa sebab turunnya ayat al-Quran, Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS al-Nisa’ / 4: 34) ialah adanya komunitas Anshar yang mendatangi Rasulullah SAW, mereka menanyakan kepada Nabi SAW perihal bersetubuh lewat anus. Rasulullah SAW berkata kepada mereka, Gauli istri-istri kalian sesuka kalian, dengan syarat zakar kalian tetap kalian masukkan melalui vagina. Dalam hadis Ibnu Abbas dituturkan, suatu hari Umar bin al-Khattab datang menghadap Rasulullah SAW, sembari berkata: Wahai Rasulullah, aku telah hancur binasa! Rasulullah SAW bertanya kepadanya: Wahai Umar, apa gerangan yang membuatmu binasa? Umar menjawab: Semalam aku telah berfantasi dengan permainan seksku. Aku gauli istriku dari anusnya, tetapi aku tidak menemukan kepuasan. Rasul SAW tidak menjawab keluhan Umar tersebut sepatah kata pun. Allah SAW lantas berwahyu kepada Nabi SAW: Istri-istri kamu adalah bagaikan tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam-mu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS al-Baqarah / 2: 223). Maksud dari sini adalah: Silahkan gauli istrimu dari belakang, namun jangan kau gauli dia ketika dalam keadaan haid, dan jangan kau gauli di melalui anusnya.
Abu Hurairah dan Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Muhammad SAW berkhutbah kepada kami, dan itu merupakan khutbah terakhir beliau sebelum kembali kehadirat-Nya. Dalam khutbahnya beliau menasehati kami: Barang siapa mensetubuhi perempuan dari duburnya, ia akan sangat merugi pada hari kiamat, kelak baunya sangat amis, yang membuat jijik setiap manusia hingga ia dimasukkan ke nerakaNya. Allah akan mencabut pahala kebaikannya, Allah tidak akan menerima amal baiknya, Dia akan melemparkannya ke jurang api neraka yang paling dalam. Yang sedemikian itu, menurut Abu Hurairah; selama orang tersebut belum bertobat nasuha. Persetubuhan melalui anus, akan mengkelamkan wajah, menyesakkan dada, meredupkan cahaya hati, membuat jiwa tidak waras dan hati gelap, persetubuhan lewat anus akan melahirkan cacat permanen, menimbulkan kedongkolan dan kemarahan kedua belah pihak, persetubuhan melalui anus akan menghancurkan moral kedua belah pihak, tidak akan sehat (waras), kecuali dengan taubat nasuha.
Keenam, Memberi Kepuasan Pasangan. Dalam bercinta, masing-masing pasangan suami istri harus mampu memberi kepuasan kepada pasangannya. Anas bin Malik meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: Jika seseorang diantara kamu bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan kepuasan. (HR Abdul Razaq). Para pakar seksologi menuturkan, laki-laki memiliki kelemahan yang nyata dalam bercinta, yaitu titik orgasme yang pendek, umumnya berkisar antara dua sampai lima menit. Hal itu tentu saja jauh dibanding wanita, yang rata-rata titik orgasmenya antara sepuluh hingga dua puluh menit. Karenanya, secara alamiah laki-laki sukar memuaskan wanita.
Cara yang paling sering dan alamiah yang dapat dilakukan laki-laki untuk menutup kelemahan serta memuaskan istrinya adalah “berhenti sebelum puncak” (berhenti beberapa detik jangan sampai ketegangan hilang), dan cara paling elegan untuk itu adalah berganti posisi sebelum puncak.
Cacat lain yang terdapat pada kaum laki-laki saat bercinta ialah saat orgasme biasanya diikuti perasaan tak nyaman atau linu pada kemaluannya. Akibatnya, setelah puncak orgasme, biasanya laki-laki harus berhenti dulu (beberapa menit sampai beberapa jam), hal mana itu tidak terjadi pada wanita. Sungguh bijak bestari pitutur Rasulullah SAW: Janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan kepuasan. Yang demikian itu ditekankan karena tujuan bercinta adalah untuk menggapai kepuasan ragawi bersama, bukan sepihak.
Ketujuh, Tidak Telanjang Bulat. Rasulullah SAW menyuruh setiap Muslim yang bercinta untuk menutup tubuh mereka dengan sehelai kain, dan tidak melakukan senggama dengan telanjang bulat. Sebab, setiap manusia selalu diiringi oleh malaikat, yang tidak pernah berpisah sekejappun. Maka tatkala orang seorang bersenggama dengan telanjang bulat, malaikat Allah akan malu melihatnya. Karenanya, Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk menutup tubuh saat bercinta. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian bertelanjang, maka sesungguhnya bersama kalian adalah para malaikat yang tidak pernah berpisah dengan kalian, kecuali ketika kalian berada di kamar mandi, serta sewaktu para lelaki menggauli isteri mereka. Oleh sebab itu, malulah kalian kepada mereka (malaikat) dan hormatilah mereka. (HR Turmudzi). Rasulullah SAW menyuruh kita mengenakan sehelai kain saat bercinta, agar ibadah nikmat kita dicatat sebagai kebaikan dan beroleh ridha Allah Azza wa Jalla, serta membuahkan anak turun yang saleh dan salehah.
Kedelapan, di Tempat Tertutup. Diantara etika dan syarat senggama adalah harus dilakukan di tempat yang tertutup. Lebih dari itu, masing-masing pasangan tidak boleh telanjang bulat saat berhubungan badan. Harus ada sehelai kain yang menutup tubuh masing-masing. Sebab, sesungguhnya adalah sehelai kain yang ‘membungkus’ tubuh, menambah kenikmatan senggama, serta terjauhkan dari kesan vulgar, meski percintaan tersebut dilakukan di tempat tertutup. Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang diantara kalian menggauli istrinya, maka hendaknya kedua pasangan tidak telanjang bulat.
Kesembilan, Diselai dengan Wudhu. Dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Said al Khudri dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Jika kalian sedang bersenggama dengan istri kalian, lalu hendak mengulangi hubungan lagi hubungan badan, hendaknya kalian mengambil air wudhu terlebih dahulu. Nilai pembelajaran yang bisa dikais dari hadis Abu Said al Khudri, bahwa perintah mandi dan berwudhu paska bersenggama adalah demi membersihkan dan mensucikan jiwa, juga untuk menghilangkan sauh-sauh kotoran saat berhubungan. Bercinta dengan badan serta jiwa yang bersih, akan memicu gairah semangat kembali untuk melakukan senggama yang lebih hebat dari sebelumnya. Lain daripada itu, pergumulan dalam senggama juga melahirkan hawa panas dalam tubuh. Dengan mandi dan wudhu hawa panas bisa didinginkan kembali, lebih-lebih senggama dalam keadaan jiwa yang jernih serta badan yang bersih, akan menyehatkan seksualitas itu sendiri, sebab hubungan badan dalam keadaan kotor adalah rawan penyakit dan tidak sehat. Karenanya, Rasulullah SAW menganjurkan untuk menjaga kebersihan diri dalam melakukan hubungan badan, agar hubungan itu bisa dinikmati, serta dapat membuat orgasme yang maksimal.
Etika Sesudah Bercinta
Seperti halnya perintah bersih-bersih diri sebelum bercinta, Rasulullah SAW juga memerintahkan untuk mandi jinabah setelah bercinta. Dalam hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah dituturkan, Rasulullah SAW senantiasa membersihkan dirinya (dengan satu kali mandi) usai bercinta dengan para istrinya, terkadang pula beliau mandi setiap usai menggauli masing-masing istri. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Rafi’, budak Rasul SAW, ia menandaskan , Rasulullah SAW pada satu malam menggilir para istrinya, beliau selalu mandi setiap usai bercinta dengan para istrinya. Aku bertanya kepada sang Rasulullah SAW: Wahai utusan Allah, kenapa Anda tidak mandi satu kali saja? Rasulullah SAW menjawab: Mandi setiap usai bersetubuh dengan istri itu, lebih baik dan lebih bersih, serta lebih suci. Rasulullah juga menganjurkan kepada setiap orang yang melakukan hubungan badan, saat jeda senggama, agar hendaknya berwudhu terlebih dahulu sebelum melanjutkan senggama berikutnya.
Ketika seseorang selesai bersenggama, ia dalam kondisi berhadas besar, sehingga diwajibkan baginya mandi jinabah. Dalam sebuah hadis riwayat Aisyah Ra, disebutkan, Aisyah Ra menuturkan: Usai bercinta, aku sering mandi bareng dengan Rasulullah SAW, dalam satu tempat mandi. Antara tanganku dan tangannya saling bergantian mengambil air. Tetapi, Rasulullah SAW sering mendahului diriku (lebih cepat) dalam mengambil air, sampai-sampai aku berujar, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku’ (HR Bukhari dan Muslim). Ajaran tersebut juga ditegaskan firman-Nya, …Dan jika kami junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS al-Maidah / 5: 6).
Disadur dari : Buku Bercinta Seperti Rasulullah, Dr. Abdurrahman Thalib al-Jazairi, Januari 2009, Cahaya Hati