Sabtu, 23 Januari 2010

Antara Manusia Pria dan Perempuan, Adakah PerbedaANNYA??


Orang berdebat ttg laki2 dan perempuan, apa sebenarnya perbedaan pokok kedua nya? Keduanya dibentuk dari 5 elemen yg sama. Konsep Sang Seniman memang "mendekorasinya" dgn cara berbeda. Tubuh adalah sebuah rumah utk ditempati, namun manuSia jd terlena oleh indahnya dekorasi.

Pada "dekorasi" ini terdapat keindahan bak emas berlian & kecantikan yg sgt menarik. Energi di wajah dan tubuh mereka seperti magnet. Walau laki2 tak punya sifat lemah lembut seperti perempuan, mereka memiliki energi magnetik dari dlm yg tertarik dan terhubung dgn magnetik luar di wajah seorang perempuan.

Dunia membincangkan laki dan perempuan, tapi jika engkau renungkan dgn bijaksana, engkau akan paham bahwa laki-laki dan perempuan adlh seperti dua nafas, seperti matahari & bulan. Di langit rembulan tampak lebih rendah dan matahari lebih tinggi. Rembulan mengambil cahaya mentari dan melepaskan nya sbg sinar kuning yg sejuk dan indah di malam hari.

Namun kedua makluk itu bukanlah tujuan melainkan titik itulah yg musti diraih baik oleh laki-laki maupun perempuan. Pemahamanmu akan mengerucut dlm dua kata: la ilaha, tak ada sesuatu pun selain Engkau (nafas keluar) di sisi kiri; illallahu, Engkaulah Allah (yakni nafas masuk) di sisi kanan. Namun Kedua nafas ini bertemu pada Allah.

Dgn cara yg sama, jiwa yg muncul dari Tuhan haruslah kembali ke asalnya. Engkau musti kembali kepada-Nya dgn wujud yg sama yaitu wujud ketika engkau dtg dari-Nya. Hanya dlm keadaan demikian, Tuhan akan menerimamu.

Ke 5 bagian yakni tanah, api, air, udara dan eter tak sanggup mencapai-Nya; krn mereka milik dunia. Baik sifat laki-laki maupun perempuan hadir di dlm tubuh ini. Jika seorang laki2 mampu menundukkan, menghargai dan memahami sifat2 keperempuanan, maka ia akan mampu membangun sebuah keindahan sifat2 Tuhan dan, meraih cahaya-Nya, terhiasi oleh keindahan-Nya.

Sebab Keenam
Kau mengetahui bahwa kau sedang dijamu oleh Allah SWT. Pasalnya, dunia adalah rumah Allah. Kau hanya singgah di sana. Seorang tamu semestinya percaya kepada sang pemilik rumah. Suatu ketika Syekh Abu Madyan rahimahullah ditanya, “Tuan, kami melihat beberapa syekh sibuk bekerja dan mencari sebab dunia, kenapa Anda tidak?” Ia menjawab, “Saudaraku, sadarilah bahwa dunia ini adalah rumah Allah. Kita adalah tamu-Nya. Dan Nabi saw bersabda, “Jamuan (para tamu) itu berlangsung selama 3 hari.” Menurutku, kita dijamu oleh Allah selama 3 hari. Dan Allah SWT telah berfirman, “Satu hari di sisi Tuhanmu seperti 1000 tahun dalam perhitunganmu.” Berarti kita dijamu oleh Allah selama 3000 tahun. Kehidupan kita di dunia termasuk dalam kurun waktu itu. Ia akan menyempurnakan lewat karunia-Nya di negeri akhirat. Selebihnya adalah kekekalan.”


Sebab Ketujuh



Sesungguhnya Allah senantiasa mengurus segala sesuatu. Bukankah Dia telah berfirman, “Allah, tiada Tuhan selain-Nya Yang Mahahidup dan Mahategak (terus-menerus mengurus seluruh makhluk-Nya).”(QS Al Baqarah : 255).



Allah SWT adalah satu-satunya pengatur di dunia dan akhirat. Dia mengatur di dunia dengan memberi rezeki dan karunia, serta mengurus di akhirat dengan memberi imbalan dan pahala. Apabila hamba mengetahui bahwa Allah tidak pernah berhenti mengurusnya, tentu ia akan menyerahkan kendali dan berserah diri kepada-Nya. Ia akan mencampakkan dirinya di hadapan Allah seraya pasrah menetapi ketentuan-Nya.



Sebab Kedelapan



Tujuan dan akhir kehidupan seorang hamba adalah pengabdian, sebagaimana firman Allah SWT, “Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu.”

(QS Al Hijr: 99). Jika hamba telah memusatkan dirinya untuk memelihara ibadahnya, tentu ia tidak akan sempat mengatur dan memerhatikan dirinya. Syekh Abu al-Hasan rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa dalam setiap ibadah yang kau lakukan, ada bagian Allah SWT yang dituntut darimu sesuai dengan rububiyyah-Nya. Dia akan menuntut bagian-Nya dari setiap hamba, dan mereka akan ditanya tentangnya, serta tentang setiap tarikan nafas yang merupakan amanah Allah. Karenanya, bagaimana mungkin ia punya waktu luang sementara ia disibukkan oleh ibadah kepada Allah; bagaimana mungkin ia sempat mengatur dirinya dan memerhatikan kebutuhannya. Seorang hamba hanya bisa sampai kepada Allah jika ia tak lagi merisaukan dirinya, berzuhud, memusatkan perhatian untuk menaati-Nya, mengarahkan pikiran agar sejalan dengan-Nya, serta terus mengabdi dan berhubungan dengan-Nya.”



Jika kau tidak merisaukan pengurusan dirimu, Allah akan membuatmu tetap bersama-Nya. Karena itu, Syekh Abu al-Hasan berkata, “Wahai yang telah berjalan menuju jalan keselamatan dan ingin berada di sisi-Nya, kurangilah memerhatikan lahirmu jika ingin batinmu terbuka bagi masuknya rahasia kekuasaan Tuhan.”



Sebab Kesembilan



Engkau adalah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba tidak boleh ragu kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan tidak pernah mengabaikan. Inti ibadah adalah percaya kepada Allah dan pasrah kepada-Nya. Sikap itu berlawanan dengan hasrat ikut mengatur dan memilih bersama Allah. Seorang hamba harus mengabdi kepada-Nya, dan Dia akan memberikan karunia untuknya. Pahamilah firman Allah yang berbunyi, “Perintahkan keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki, Kamilah yang memberimu rezeki.”(QS Thaha: 132).

Maksudnya, mengabdilah kepada Kami, dan Kami akan terus memberi bagianmu.



Sebab Kesepuluh



Sesungguhnya kau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap urusan. Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu. Mungkin saja ada keuntungan di balik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi bahaya datang dari kemudahan dan kemudahan datang dari bahaya.



Mungkin saja anugerah tersimpan dalam ujian dan cobaan tersembunyi di balik anugerah. Dan bisa jadi kau mendapatkan manfaat lewat tangan musuh dan binasa lewat orang yang kau cintai. Orang yang berakal tidak akan ikut mengatur bersama Allah karena ia tidak mengetahui mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya.



Syekh Abu al Hasan rahimahullah berkata, “Ya Allah, aku tidak berdaya menolak bahaya dari diri kamu meskipun datang dari arah yang kami ketahui dan dengan cara yang kami ketahui. Lalu, bagaimana kami mampu menolak bahaya yang datang dari arah dan cara yang tidak kami ketahui?”



Cukuplah untukmu firman Allah SWT, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik untuk kalian. Bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia buruk untuk kalian. Allah mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.”



Seringkali kau menginginkan sesuatu namun Dia memalingkannya darimu. Akibatnya, kau merasa sedih dan terus menginginkannya. Namun, ketika akhir dan akibat dari apa yang kau hasratkan itu tersingkap, barulah kau menyadari bahwa Allah SWT melihatmu dengan pandangan yang baik dari arah yang tidak kau ketahui dan memilihkan untukmu dari arah yang tidak kau ketahui. Sungguh buruk seorang hamba yang tidak paham dan tidak pasrah kepada-Nya. Perhatikanlah syair berikut.



Sering kuhasratkan sesuatu, namun Kau telah memilihkannya untukku

Pilihan-Mu senantiasa lebih baik, dan kau teramat sayang kepadaku

Kutekadkan diri untuk tak memedulikan kata hati

Kecuali untuk mengagungkan dan memuliakan-Mu

Dan kutekadkan diri agar Kau tak melihatku menjamah dan melakukan yang

Kau larang.

Karena dalam hatiku, Kau teramat agung.



Diceritakan bahwa ada seorang arif, yang ketika ditimpa musibah, berkata, “Tak apa-apa, itu baik.” Pada suatu malam, seekor serigala datang dan memakan ayamnya. Ketika diberitahu, ia menjawab, “Tidak apa-apa.”

Di malam berikutnya anjingnya mati. Saat diberitahu ia menjawab, “Semuanya baik-baik saja.”

Lalu, keesokan harinya keledainya juga mati. Ia tetap berkata, “Tak apa.” Keluarganya tidak menyukai jawabannya itu.



Namun, pada malam berikutnya, sekelompok orang menyerang desa itu dan membunuh semua penduduknya. Tidak ada yang selamat kecuali si arif dan keluarganya. Ternyata gerombolan itu mendatangi penduduk mengikuti suara ayam, gonggongan anjing dan bunyi keledai. Sementara, si arif itu tak lagi memilikinya. Kematian hewan-hewan itu menjadi sebab keselamatannya. Mahasuci Allah Yang Maha Mengatur dan Maha Bijaksana.



Seorang hamba menyadari baiknya pengaturan Allah setelah suatu peristiwa berlalu. Itulah sifat manusia kebanyakan. Berbeda dengan kalangan khusus yang memahami Allah dan mengetahui baiknya pengaturan Allah sebelum peristiwa itu berlalu. Kalangan khusus ini pun terbagi ke dalam beberapa tingkatan:



Ada orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT sehingga mereka berserah diri kepada-Nya karena Dia telah banyak memberi anugerah dan karunia.



Ada yang berbaik sangka kepada Allah SWT karena mengetahui bahwa merisaukan nasib dan ikut mengatur tidak akan mampu menolak ketentuan yang telah ditetapkan atas dirinya dan tidak akan mendatangkan apa yang bukan bagiannya.



Ada pula orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT karena memahami hadis qudsi, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku”



Ia terus berbaik sangka kepada Allah SWT seraya bekerja dan berusaha dengan harapan Allah akan memperlakukannya sesuai dengan prasangkanya yang baik. Dan, Allah berbuat kepadanya sesuai dengan prasangkanya. Allah telah memudahkan karunia bagi orang beriman sesuai dengan prasangka mereka. Dia berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.”(QS Al Baqarah: 185)



Tingkatan yang paling tinggi adalah orang yang menyerah dan pasrah kepada Allah SWT karena menyadari bahwa sikap itulah yang paling layak ia jalani, bukan karena mengharapkan kebaikan bagi dirinya.



Tingkatan yang pertama tidak mengeluarkan hamba dari belenggu sebab. Pasalnya, orang yang menyerah kepada-Nya karena kebaikan-Nya, berarti terbelenggu oleh kebaikan-Nya yang telah ia rasakan. Seandainya tidak merasakan kebaikan-Nya, ia tidak akan menyerah dan pasrah kepada-Nya. Begitu juga tingkatan kedua. Ia tidak ikut mengatur karena menganggapnya tidak berguna, bukan karena Allah. Seandainya ia merasa bahwa pengaturannya berguna, mungkin ia akan ikut mengatur. Dan tingkatan yang ketiga masih terbelenggu oleh kebutuhan dirinya. Ia berserah diri dan berbaik sangka kepada Allah agar Dia memberinya sesuai dengan prasangkanya. Jadi, ia berupaya demi kepentingan dirinya. Ia takut tidak akan mendapatkan karunia-Nya jika tidak pasrah dan berbaik sangka kepada-Nya.



Sementara, orang yang pasrah kepada Allah SWT dan berbaik sangka kepada-Nya karena melihat keagungan uluhiyah-Nya dan sifat rububiyyah-Nya adalah hamba yang telah mencapai hakikat pengabdian. Ia layak masuk kelompok yang disabdakan Rasulullah saw, “Allah memiliki para hamba yang satu tasbih mereka senilai gunung Uhud.”



Allah SWT telah membuat perjanjian dengan seluruh hamba untuk tidak ikut mengatur bersama-Nya lewat firman-Nya, “Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman, ‘Bukankah Aku adalah Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Ya, benar’” (QS Al A’raaf: 172)



Pengakuan bahwa Dia adalah Tuhan mereka meniscayakan sikap pasrah sepenuhnya dan tidak ingin ikut mengatur bersama-Nya. Itulah akad perjanjian yang diucapkannya sebelum ia menjadi nafs – yang selalu risau dan ingin ikut mengatur bersama Allah SWT. Seandainya hamba tetap berada dalam kondisi pertama yang tak terhijab dan dekat dengan-Nya, tentu ia tidak akan ikut mengatur bersama Allah.



Namun, ketika terhijab, ia mulai ikut mengatur dan merisaukan nasib dirinya. Karena itu, para arif yang mengenal Allah dan menyaksikan rahasia malakut tidak mau ikut mengatur bersama-Nya.



Pasalnya, kedekatan mereka dengan Allah membentengi mereka dari sikap semacam itu dan melenyapkan keinginan mereka untuk ikut mengatur. Bagaimana mungkin mereka akan ikut mengatur bersama Allah sementara mereka berada di hadapan-Nya dan menyaksikan keagungan-Nya?!



(Ibn ‘Atha’illah. Al Tanwir fi Isqath al Tadbir)

Tidak ada komentar: