Apa saja hadits-hadits yang shahih tentang keutamaan shalat Dhuha?
( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ ) .
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat Dhuha sebanyak empat (rakaat), kadang beliau menambah sesuai keinginannya."
Syekh Ibnu Baz rahimahullah berkata dalam kitab Majmu Fatawa, 11/389, "Shalat Dhuha adalah sunnah mu'akkadah yang telah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau perintahkan kepada para shahabatnya."
Telah dijelaskan di situs ini disyariatkannya shalat Dhuha, berserta waktunya yang utama, sebagaimana dalam soal jawab no. 129956, dan 22389.
Kedua:
Terdapat beberapa hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat Dhuha, di antaranya;
1) Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, "
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى (رواه مسلم، رقم 1181) .
Pada setiap persendian kalian harus dikeluarkan sedekahnya setiap pagi; Setiap tasbih (membaca subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (membaca Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (membaca Lailaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (membaca Allahu Akbar) adalah sedekah, amar bil ma'ruf adalah sedekah, nahi ‘anil munkar adalah sedekah. Semua itu dapat terpenuhi dengan (shalat) dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha." (HR. Muslim, no. 1181)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,
وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
'Semua itu dapat terpenuhi (cukup tergantikan) dengan (shalat) dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha'
Kata (يجزي) dapat dibaca dhomah atau fahtah di awalnya. Jika dibaca dhammah (يُجْزِي) artinya adalah dibalas, sedangkan jika dibaca fathah(يَجْزِي) berasal dari kata جزى يجزي artinya adalah cukup, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
: لا تَجْزِي نَفْس
Atau sebagaimana hadits,
لا يَجْزِي عَنْ أَحَد بَعْدك
Tidak cukup dengan orang selainmu.
Hadits ini merupakan dalil tentang besarnya keutamaan dan kedudukan shalat Dhuha, dan bahwa dia sah jika dilakukan sebanyak dua rakaat." (Syarh Muslim, oleh Imam Nawawi)
2) Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1178, dan Muslim, no. 721, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata,
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ : صَوْمِ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) telah berwasiat kepadaku tentang tiga perkara agar jangan aku tinggalkan hingga mati; Puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan tidur dalam keadaan sudah melakukan shalat Witir."
Dari Abu Darda radhiallahu anhu, dia berkata, "Kekasihku telah berwasiat kepadaku tentang tiga hal yang tidak akan aku tinggalkan selama hidupku; Puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan tidak tidur sebelum aku menunaikan (shalat) Witir." (HR. Muslim, no. 1183)
Qurtubi rahimahullah berkomentar: “Wasiat Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam kepada Abu Darda’ dan Abu Hurairah radhiallahu’anhuma menunjukkan akan keutamaan Shalat Dhuha dan banyak pahalanya serta penekanannya. Oleh karena itu beliau berdua senantiasa menjaganya dan tidak (pernah) meninggalkan.” Selesai dari kitab ‘Al-Mufhim Lima Asykala min Talkhisi Muslim’
3) Dari Abu Darda dan Abu Dzar radhiallahu anhuma dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dari Allah Azza wa Jalla, bahwa Dia berfirman, "Wahai anak Adam shalatlah empat rakaat di awal hari, Aku akan lindungi engkau hingga akhirnya." (HR. Tirmizi, no. 437, dishahihkan oleh Al-Albany)
Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata, yang dimaksud 'shalat di awal siang adalah shalat Dhuha, ada pula yang mengatakan shalat isyraq, ada pula yang mengatakan shalat sunnah Shubuh dan fardhunya, karena dia merupakan shalat fardhu pertama di siang hari. Aku katakan, 'Pengarang (sunan Tirmizi) begitu juga Abu Daud memahami shalat tersebut sebagai shalat Dhuha, karena itu keduanya memasukkan hadits ini dalam bab Shalat Dhuha. Sedangkan yang dimaksud menjaga adalah menjaga urusannya hingga akhir siang. Ath-Thaiby berkata, maksudnya adalah 'Aku lindungi kesibukan dan kebutuhanmu serta melindungi engkau dari segalah keburukan setelah shalatmu hingga akhir siang. Maksudnya, berkonsentrasilah beribadah kepada-Ku di awal siang, maka Aku akan tenangkan pikiranmu hingga akhir siang dengan memenuhi semua kebutuhanmu." (Tuhfatul Ahwazi, 2/478)
4) Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "
"Tidak ada orang yang memelihara shalat Dhuha, melainkan dia seorang yang kembali, karena dia adalah shalat awwaabin (shalatnya orang-orang yang kembali)." (HR. Ibnu Khuzaimah, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib wat-Tarhib, 1/164)
5) Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Siapa yang shalat Fajar berjamaah, kemudian duduk untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka baginya bagaikan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna." (HR. Tirmizi, no. 586, dinyatakan hasan oleh Al-Albany rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmizi)
Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata dalam kitab Tuhfatul Ahwazi bi syarhi Jami At-Tirmizi, 3/158: Sabda beliau 'Kemudian shalat dua rakaat' maksudnya adalah setelah matahari terbit. Sedangkan Ath-Thaybi berkata, maksudnya adalah, 'Kemudian dia shalat setelah matahari naik setinggi tombak, sehingga waktu dimakruhkan shalat telah habis. Ini adalah shalat yang dinamakan shalat Isyraq, dia adalah awal (waktu) shalat Dhuha."
Hadits-Hadits Shahih tentang anjuran dan keutamaan Sholat Dhuha.
B. Hadits-Hadits Shahih tentang anjuran dan keutamaan Sholat Dhuha.
C. Shalat Dhuha adalah salah satu shalat sunah yang senantiasa dijaga oleh umumnya kaum muslimin. Mereka –berdasarkan dalil-dalil yang ada- meyakininya sebagai ibadah yang memiliki keutamaan tersendiri. Tetapi, ada saja memang diantara kaum muslimin yang meragukan kesunahannya, mereka mengatakan bid’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salafush shalih. Namun, mayoritas ulama dan fuqaha, dari zaman ke zaman menyatakan shalat dhuha adalah sunah.
Tentang status Shalat Dhuha, para ulama terbagi menjadi empat kelompok. Kita akan coba membahasnya satu per satu dan memperhatikan alasan masing-masing kelompok.
Pertama. Kelompok Yang Menyatakan Sunah Dengan Kesunahan Yang Terus Menerus
Inilah pendapat mayoritas ulama sejak dahulu. Mereka berdalil dengan berbagai hadits berikut:
Hadits Pertama:
Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة. فكل تسبيحة صدقة. وكل تحميدة صدقة. وكل تهليلة صدقة. وكل تكبيرة صدقة. وأمر بالمعروف صدقة. ونهي عن المنكر صدقة. ويجزئ، من ذلك، ركعتان يركعهما من الضحى
“Hendaknya di antara kalian bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka setiap bacaa tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, beramar ma’ruf adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua sudah tercukupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim No. 720, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 4677, 19995, Ibnu Khuzaimah No. 1225)
Hadits Kedua:
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
في الإنسان ستون وثلاث مائة مفصل عليه أن يتصدق عن كل مفصل منه بصدقة قالوا ومن يطيق ذلك يا رسول الله قال النخاعة تراها في المسجد فتدفنها أو الشيء تنحيه عن الطريق فإن لم تجد فركعتا الضحى
“Dalam tubuh manusia terdapat 360 tulang. Ia diharuskan bersedekah untk tiap ruas tulang itu.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang mampu melakukan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dahal yang ada di masjid lalu ditutupnya dengan tanah, atau menyingkirkan gangguan dari jalan, atau sekali pun tidak mampu maka shalatlah dua rakaat pada waktu dhuha.” (HR. Ibnu Hibban No. 1642, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2971. Juga diriwayatkan oleh Abu daud dan Ahmad)
Imam Asy Syaukani menjelaskan tentang dua hadits ini:
والحديثان يدلان على عظم فضل الضحى وأكبر موقعها وتأكد مشروعيتها وأن ركعتيها تجزيان عن ثلاثمائة وستين صدقة وما كان كذلك فهو حقيق بالمواظبة والمداومة .
“Dua hadits ini menunjukkan keutamaan shalat dhuha yang begitu besar, betapa agung kedudukannya, dan betapa keras pensyariatannya. Dua rakaat dhuha dapat menyamai 360 kali sedekah, oleh karena itu hendaknya dilakukan secara terus menerus.” (Nailul Authar, 3/64. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Hadits Ketiga:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku telah mewasiatkan aku tiga hal agar aku jangan tinggalkan sampai mati. 1. Puasa tiga hari setiap bulan. 2. Shalat dhuha.3. Shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari No. 1124, 1880, Muslim No. 721, Abu Daud No. 1432, Ad Darimi No. 1454, 1745)
Hadits ini dengan jelas menyebutkan shalat dhuha sebagai sunah yang mesti dijaga dan jangan sampai ditinggalkan hingga wafat. Dan, kesunahannya disetarakan dengan shalat witir dan puasa ayyamul bidh. Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Shahihnya, pada Kitab Abwab Ath Tathawwu’ (Bab Macam-Macam Shalat Tathawwu’/sunah), pada Bab Shalatudh Dhuha fil Hadhar (Shalat Dhuha Ketika Mukim). Penjudulan dari Imam Bukhari ini sekaligus bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melaksanakan shalat dhuha yakni ketika pulang dari safar (perjalanan jauh), yang dengan ini mereka berpendapat tidak ada shalat dhuha kecuali karena adanya sebab, di antaranya safar.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil sunahnya shalat dhuha, lalu beliau menambahkan:
وعدم مواظبة النبي صلى الله عليه وسلم على فعلها لا ينافي استحبابها لأنه حاصل بدلالة القول، وليس من شرط الحكم أن تتضافر عليه أدلة القول والفعل، لكن ما واظب النبي صلى الله عليه وسلم على فعله مرجح على ما لم يواظب عليه
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merutinkan shalat dhuha, tapi tidak berarti menghilangkan kesunahan shalat dhuha tersebut, sebab kesimpulan sudah bisa diambil dari ucapannya ini. Dan, hukum tidaklah disyaratkan mesti terjadinya jalinan antara ucapan dan perbuatan, tetapi memang perbuatan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rutinkan, dia lebih kuat anjurannya dari yang tidak Beliau rutinkan.” (Fathul Bari, 3/57. Darul fikr)
Hadits Keempat:
Dari Nu’aim bin Hammar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قال الله عزوجل: ابن آدم لا تعجزن عن أربع ركعات في أول النهار أكفك آخره
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai Anak Adam, jangan sekali-kali kamu malas mengerjakan empat rakaat pada awal siang (shalat dhuha), nanti akan Aku cukupi kebutuhanmu pada akhirnya (sore hari).” (HR. Abu Daud No. 1289, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1289 dan Shahih At Targhib wat Tarhib No. 673, juga diriwayatkan oleh Ahmad dari jalur Abu Darda dengan sanad shahih li ghairih, lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 672, At Tirmidzi juga dari Abu Darda, dan beliau mengatakan hasan gharib, dan Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahih At targhib wat Tarhib No.672 )
Ada juga yang agak mirip dengan hadits di atas, dari Abu Murrah Ath Thaifi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قال الله عز وجل ابن آدم صل لي أربع ركعات من أول النهار أكفك آخره
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Wahai Anak Adam, shalatlah untukKu sebanyak empat Rakaat dari awal siang, niscaya akan Aku cukupi kebutuhanmu pada akhirnya.” (HR. Ahmad, para perawinya dijadikan hujjah oleh para ulama dalam kitab Ash Shahih. Syaikh Al Albani menyatakan Shahih li ghairih pada Shahih At Targhib wat Tarhib No. 674)
Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi memasukkan hadits ini dalam Bab Shalat Dhuha. Artinya, makna shalat empat rakaat pada awal siang adalah shalat dhuha, dan sekaligus ini menunjukkan kesunahannya. Berkata Imam Al ‘Aini:
وحمل العلماء هذه الركعات على صلاة الضحى
“Dan para ulama memaknai rakaat ini adalah shalat dhuha.” (Imam Badruddin Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/187. Maktabah Ar Rusyd) Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim, setelah beliau mengurai berbagai pendapat tentang makna ‘empat rakaat’. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 4/119. Cet. 2, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Ada pun Imam Ibnu Taimiyah memaknainya sebagai shalat subuh dan shalat sunahnya, sebagaimana yang didengar oleh Imam Ibnul Qayyim.. (Zaadul Ma’ad, 1/360. Cet. 3, 1986M. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Hadits Kelima:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر صلى سبحة الضحى ثماني ركعات فلما انصرف قال: (إني صليت صلاة رغبة ورهبة، سألت ربي ثلاثا فأعطاني اثنتين ومنعني واحدة: سألته ألا يبتلي أمتي بالسنين ففعل، وسألته ألا يظهر عليهم عدوهم ففعل، وسألته ألا يلبسهم شيعا فأبى علي
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat bepergian, beliau shalat dhuha delapan rakaat. Setelah selesai Beliau bersabda: Tadi saya shalat dengan penuh harapan dan kecemasan, saya mohon kepada Tuhanku tiga hal, dan diberikan dua hal dan ditolakNya yang satu. Saya minta agar umatku tidak ditimpa bencana paceklik dan ini dikabulkan, dan saya meminta agar umatku jangan dikalahkan oleh musuh-musuhnya dan ini dikabulkan, dan saya meminta agar mereka jangan terpecah belah, dan ini ditolak.” (HR. Ibnu Majah No. 3951, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 2466. Juga diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim, dan Ibnu Khuzaimah. Mereka berdua (Al Hakim dan Ibnu Khuzaimah) menshahihkannya.)
Hadits Keenam:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب قال : وهي صلاة الأوابين
“Tidaklah yang menjaga shalat dhuha melainkan orang yang Awwab,” Dia bersabda: “Itulah shalat Awwabin.” (HR. Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ath Thabarani. Syaikh Al Albani menghasankan dalam Shahihul Jami’ No. 7628)
Hadits ini menunjukkan pujian bagi orang yang menjaga shalat dhuha, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menamakannya dengan sebutan Al Awwabin (Orang-orang yang kembali).
Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat Awwabin (orang yang suka taubat) waktunya adalah ketika unta merasakan panas.” (HR. Muslim No. 748, Ad Darimi No. 1457, Ibnu Hibban No. 2539)
Maksud tarmadhul fishal (ketika Unta merasakan panas) adalah ketika dhuha. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل وَقْت صَلَاة الضُّحَى ، وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى الزَّوَال .
“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) telah berkata: ‘Itu adalah waktu yang paling utama untuk shalat dhuha, dan boleh saja melakukannya dari terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/88. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Demikianlah sebagian saja hadits-hadits yang menjadi dasar sunahnya shalat dhuha dan keutamannya. Dengan kesunahan yang dapat dilaksanakan secara terus menerus. Ini menjadi madzhab jumhur (mayoritas) ulama Islam.
Kedua. Kelompok Yang Menyatakan Sunah Tetapi Sesekali Saja
Kelompok adalah kelompok sebagian sahabat seperti Aisyah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan tabi’in seperti Said bin jubeir, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang mendasari pendapat mereka:
Hadits Pertama:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى حتى نقول لا يدعها، ويدعها حتى نقول لا يصليها
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha sampai kami mengatakan bahwa Beliau tidak pernah meninggalkannya, dan Beliau meninggalkannya sampai kami mengatakan bahwa Beliau tidak pernah mengerjakannya.” (HR. At Tirmidzi, beliau menghasankannya. Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam Misykah Al Mashabih No. 1320)
Hadits Kedua:
Dari Abdullah bin Syaqiq Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah:
هل كان رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يصلِّي الضحى؟ فقالت: لا، إلا أن يجيء من مغيبه
“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dhuha?” ‘Dia menjawab: “Tidak, kecuali sepulangnya dari bepergian.” (HR. Muslim No. 717, Abu Daud No. 1292, Ibnu Hibban No. 2527, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4691, Ibnu Khuzaimah No. 2132)
Hadits ini menjadi dalil yang sangat jelas, sebab ‘Aisyah adalah orang terdekatnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat jarang shalat dhuha, sampai-sampai dikatakan: “Tidak, kecuali sepulang dari bepergian.”
Selain dua hadits ini, banyak riwayat dari para sahabat yang tidak menyukai merutinkan shalat dhuha dan menganggapnya perbuatan yang membebankan diri sendiri padahal Allah Ta’ala tidak membebaninya.
Imam Abu Ja’far Ath Thabari Rahimahullah berkata:
كذا ذكر من كان يفعل ذلك مِن السلف
“Demikianlah yang disebutkan dari kaum salaf yang melakukan shalat dhuha.” (Zaadul Ma’ad, 1/353)
Detilnya, berikut keterangan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:
وروى شعبة، عن حبيب بن الشهيد، عن عكرمة قال: كان ابنُ عباس يُصليها يوماً، ويدعها عشرة أيام يعني صلاةَ الضحى وروى شعبة، عن عبد اللّه بن دينار، عن ابن عمر، أنه كان لا يُصلي الضحى. فإذا أتى مسجد قُباء، صلَّى، وكان يأتيه كلَّ سبت. وروى سفيان، عن منصور، قال كانوا يكرهون أن يحافظوا عليها كالمكتوبة، ويُصلون ويدعون يعني صلاة الضحى. وعن سعيد بن جبير: إني لأدع صلاة الضحى وأنا أشتهيها، مخافة أن أراها حتماً علي وقال مسروق: كنا نقرأ في المسجد، فنبقى بعد قيام ابن مسعود، ثم نقوم، فنصلي الضحى، فبلغ ابن مسعود ذلك فقال: لِم تُحمِّلون عبادَ الله ما لم يُحمِّلهم اللَّه؟! إن كنتم لا بُدَّ فاعلين، ففي بيوتكم وكان أبو مِجْلَز يصلي الضحى في منزله.قال هؤلاء: وهذا أولى لئلا يتوهم متوهمٌ وجوبَها بالمحافظة عليها، أو كونَها سنةَ راتبةً ولهذا قالت عائشة: لو نُشِرَ لي أَبَواي ما تَرَكتها. فإنها كانت تُصليها في البيت حتى لا يراها الناس.
Syu’bah meriwayatkan dari Habib bin Asy Syahid dari ‘Ikrimah, katanya: “Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu melaksanakan shalat dhuha di suatu hari dan meninggalkannya selama sepuluh hari.” Syu’bah juga meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Beliau tidak pernah melakukan shalat dhuha, tetapi bila sampai ke Masjid Quba, barulah dia melakukannya. Dia mendatangi Masjid Quba setiap Sabtu.
Sufyan meriwayatkan dari Al Manshur, katanya:”Mereka tidak suka melakukannya secara rutin seperti shalat fardhu. Mereka melakukan dan juga meninggalkan.” Said bin Jubeir berkata: “Sesungguhnya aku meninggalkan shalat dhuha, betapa pun aku ingin melaksanakannya, karena khawatir dianggap sebagai kewajiban bagiku.” Masrur mengatakan: “Kami belajar Al Quran di Masjid. Setelah Ibnu MAs’ud berdiri masih ada waktu tersisa, kemudian kami melakukan shalat dhuha. Hal ini disampaikan kepada Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Beliau berkata: “Wahai hamba Allah, kenapa kalian membebankan apa-apa yang Allah tidak bebankan? Tapi jika kalian tetap ingin melaksanakannya, lakukanlah dirumah kalian. Diriwayatkan bahwa Abu Mijliz menjalankan shalat dhuha di rumahnya.
Mereka berkata: “Itu lebih baik agar orang-orang tidak menyangka bahwa itu adalah wajib karena terus dilakukan atau nanti disangka sebagai sunah rawatib. Maka dari itu ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, mengatakan: “ Andaikan itu ditunjukkan oleh kedua orangtuaku, pastilah aku tidak akan meninggalkannya. Maka ‘Aisyah pun menjalankannya di rumah sehingga manusia tidak melihatnya. (Zaadul Ma’ad, 1/353-354)
Jika kita melihat alasan kelompok ini yang paling esensi adalah ketakutan bahwa shalat dhuha akan dianggap wajib. Maka kalau demikian, jika alasan ini sudah tidak ada, dan umumnya manusia sudah mengetahui bahwa memang shalat dhuha tidak wajib, maka tidak mengapa bagi yang mau merutinkannya. Sebab, -pada kasus lain- walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan tarawih berjamaah di masjid pada malam keempat karena khawatir manusia menyangka itu wajib, tetaplah ulama kaum muslimin sejak masa sahabat memahami bahwa tarawih berjamaah di masjid adalah sunah, dan kesunahannya tidak sesekali saja, tetapi terus-menerus selama bulan malam Ramadhan. Wallahu A’lam
Ketiga: Kelompok Yang Mengatakan Shalat Dhuha Adalah Sunah Jika Ada Sebab Saja
Mereka beralasan bahwa shalat dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena ada sebab, yakni kedatangan Beliau ketika Fathul Makkah, Safar, sebagai ibadah badal (pengganti), dan berkunjung ke rumah sahabatnya. Di luar itu Beliau tidak pernah melakukannya. Kalau pun itu dilakukan di waktu dhuha, bukan berarti itu adalah shalat dhuha, tetapi shalat al fath (shalat penaklukan kota) yang kebetulan dilakukan di waktu dhuha. Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalid bin Walid ketika menaklukan kota Hierat, beliau melakukan shalat al fath sebanyak delapan rakaat tanpa salam. Dan Ummu Hani menyebutnya: “Itulah shalat dhuha.” Hal ini termasuk diterangkan diantaranya oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud, , dan juga Imam Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.
Hadits ‘Aisyah yang menyebut bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah shalat dhuha kecuali sepulang dari bepergian membuktikan bahwa shalat dhuha terjadi karena sebab. Artinya, jika tanpa sebab, maka tidak ada shalat dhuha.
Ini pun diikuti oleh para sahabat. Ibnu Abi Aufa pernah shalat dhuha dua rakaat ketika mendapat kabar kematian Abu Jahal. Jadi, yang diingkari oleh ‘Aisyah adalah bukan semata-mata shalat dhuhanya, melainkan jika shalat dhuha dilaksanakan tanpa sebab seperti yang biasa dilakukan oleh manusia kebanyakan. Bahkan shalat dhuha merupakan pengganti (badal) bagi siapa-siapa saja yang jarang shalat malam, itulah sebabnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan Abu Hurairah agar tidak meninggalkannya, shalat witir, shalat dhuha, dan puasa ayyamul bidh, karena Abu Hurairah jarang shalat malam lantaran kesibukannya terhadap hadits Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau mengatakan:
ومن تأمل الأحاديث المرفوعة وآثارَ الصحابة، وجدها لا تدل إلا على هذا القول، وأما أحاديثُ الترغيب فيها، والوصيةُ بها، فالصحيح منها كحديث أبي هريرة وأبي ذر لايدل على أنها سنة راتبة لكل أحد، وإنما أوصى أبا هريرة بذلك، لأنه قد روي أن أبا هريرة كان يختار درس الحديث بالليل على الصلاة، فأمره بالضحى بدلاً من قيام الليل، ولهذا أمره ألا ينام حتى يوتر، ولم يأمر بذلك أبا بكر وعمر وسائر الصحابة.
Bagi siapa yang mau merenungkan hadits-hadits marfu’ (sampai kepada Rasulullah) dan atsar para sahabat, niscaya tidak akan menemukan pandangan lain kecuali pada pendapat ini. Ada pun hadits-hadits yang berisi anjuran untuk melaksanakannya dan wasiat untuk menjalankannya, itu adalah shahih seperti hadits Abu Hurairah dan Abu Dzar, tetapi tidak menunjukkan bahwa shalat dhuha adalah sunah yang dirutinkan bagi setiap orang. Itu hanyalah wasiat bagi Abu Hurairah untuk melaksanakannya, sebab telah diriwayatkan bahwa Abu Hurairah pada malam hari lebih memilih mengkaji hadits dibanding shalat, maka beliau diperintahkan untuk shalat dhuha sebagai pengganti shalat malam. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya agar jangan tidur dulu sebelum dia menunaikan shalat witir, dan hal ini tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan kepada Abu Bakar, Umar, dan sahabat lainnya.” (Zaadul Ma’ad, 1/357)
Bagus sekali keterangan dari ‘Alim Rabbani, Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah. Namun, telah diketahui bersama, bahwa Imam Bukhari memasukkan hadits Abu Hurairah tersebut dalam judul dalam kitab Shahihnya, Bab Shalatudh Dhuha fil Hadhar (Shalat Dhuha Ketika Mukim). Artinya, dalam pandangan Imam Bukhari, shalat dhuha adalah sunah walau sedang mukim, tidak safar, tidak dalam keadaan al fath, tidak pula karena adanya sebab lain.
Oleh karena itu Imam Al Khathabi mengatakan –sebagaimana yang dikutip oleh Imam Abu Thayyib- ketika mengomentari hadits ‘Aisyah:
"فقالت لا إلا أن يجيء من مغيبه" : بفتح الميم وكسر الغين أي من سفره قال الخطابي: أخذ قوم بحديث عائشة فلم يروا صلاة الضحى وقالوا: إن الصلاة التي صلاها رسول الله صلى الله عليه وسلم
يوم الفتح هي سنة الفتح. قال: وهذا التأول لا يدفع صلاة الضحى لتواتر الروايات بها عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“’Aisyah berkata: Tidak, kecuali sepulangnya dari perjalanan.” Berkata Al Khathabi: Segolongan manusia berdalil dengan hadits ‘Aisyah ini, maka mereka tidaklah memandangnya sebagai shalat dhuha. Mereka mengatakan: Sesungguhnya shalat yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari penaklukan kota Mekkah adalah shalat sunah al fath (penaklukan). Dia (Al Khathabi) berkata: Takwil ini tidaklah menggugurkan shalat dhuha karena mutawatirnya riwayat tentang shalat dhuha dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (‘Aunul Ma’bud, 4/121)
Jadi, walau pun shalat itu dinamakan shalat al fath, karena memang peristiwanya demikian, tidaklah itu menggugurkan sekian banyak hadits tentang anjuran melaksanakan shalat dhuha.
Keempat: Kelompok Yang Mengingkari Shalat Dhuha Bahkan Membid’ahkannya
Imam Abu Umar Ibnu Abdil Bar menceritakan dalam At Tamhid ketika mengomentari hadits “Bahwa Nabi melakukan shalat pada waktu dhuha lalu orang-orang mengikutinya dibelakangnya,” sebagai berikut, :
والدليل على أنه لا يعرف في هذا الحديث ذكر صلاة الضحى إنكار ابن شهاب لصلاة الضحى فقد كان الزهري يفتي بحديث عائشة هذا ويقول أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يصل الضحى قط قال وإنما كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلونها بالهواجر أو قال بالهجير ولم يكن عبد الرحمن بن عوف وعبد الله بن مسعود وعبد الله بن عمر يصلون الضحى ولا يعرفونها
“Dalil yang ada pada hadits ini tidaklah diketahui disebutkan tentang shalat dhuha. Ibnu Syihab mengingkari makna shalat dhuha pada hadits ini. Az Zuhri telah berfatwa dengan hadits ‘Aisyah ini dan mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah shalat dhuha sekali pun. Dia (Az Zuhri) mengatakan bahwa para sahabat Rasulullah melakukan shalat tersebut pada berbagai hijrah atau pada sekali hijrah. Dan tidak pernah Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Umar melaksanakan shalat dhuha, dan mereka tidak mengenalnya.” (At Tamhid Lima Fil Muwaththa’ Minal Ma’ani wal Asanid, 8/143. Muasasah Al Qurthubah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyebutkan –saya ringkas- dari Imam Bukhari bahwa Ibnu Umar, Umar, dan Abu Bakar tidak pernah melakukan shalat Dhuha. Ketika ditanya bagaimana dengan Rasulullah? Dijawab: “Saya tidak mengecualikannya.” Waki’ berkata, telah berkata kepadaku Sufyan Ats Tsauri, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha kecuali satu hari saja.”
Ali bin Al Madini berkata: berkata kepadaku Muadz bin Muadz, berkata kepadaku Syu’bah, berkata kepadaku Fudhail bin Fadhalah, dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dia berkata: Abu Bakrah melihat manusia melakukan shalat dhuha, maka beliau berkata: “Kalian menjalankan shalat yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan umumnya para sahabatnya.”
Dalam Al Muwaththa’ disebutkan: dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah, dari ’Aisyah dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah melakukan shalat dhuha sekali pun, dan saya tidak melaksanakannya, jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan amal dan suka dengan amal tersebut, dan manusia melaksanakannya maka dia khawatir itu akan diwajibkan atas mereka.”
Abul Hasan Ali bin Bathal mengatakan; “Segolongan kaum salaf berdalil dengan hadits ‘Aisyah ini, mereka tidak memandangnya sebagai shalat dhuha. Segolongan kaum mengatakan: bid’ah.” Diriwayatkan dari Asy Syaibi, dari Qais bin ‘Ubaid, dia berkata: “Aku bersama Ibnu Mas’ud selama setahun lamanya dan aku tidak melihatnya shalat dhuha.
Diriwayatkan dari Syu’bah, dari Sa’ad bin Ibrahim, dari ayahnya, bahwa Abdurrahman bin ‘Auf tidak pernah shalat dhuha. Dari Mujahid, dia berkata: Aku masuk ke masjid bersama ‘Urwah bin Az Zubeir, saat itu Ibnu Umar sedang duduk di samping kamar ‘Aisyah. Ketika manusia melaksanakan shalat dhuha, kami bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat mereka. Beliau menjawab: bid’ah! Dan beliau berkata sekali lagi: “Sebaik-baiknya bid’ah!”
Asy Sya’bi mengatakan: Aku mendengar Ibnu Umar berkata: “Tidak ada bid’ah yang lebih baik dilakukan oleh kaum muslimin dibandingkan shalat dhuha.” Anas bin Malik ditanya tentang shalat dhuha, beliau menjawab: “Shalat itu ada lima.” (Zaadul Ma’ad, 1/352-353)
Pandangan kelompok ini perlu ditinjau dari beberapa hal.
Pertama. Apa yang dijadikan dalil oleh mereka yakni hadits ‘Aisyah yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali saja melaksanakan shalat dhuha selama hidupnya, merupakan pernyataan yang berasal dari apa yang dilihatnya, belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi ketika ‘Aisyah tidak melihatnya. Sebab, dalam riwayat beberapa sahabat lain disebutkan bahwa Nabi pernah shalat dhuha dua rakaat, empat rakaat, delapan rakaat, bahkan dua belas rakaat. Perbedaan jumlah rakaat ini menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah melakukannya hanya sekali.
Bahkan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah sendiri ditanya:
أ كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى؟ فقالت نعم أربع ركعات ويزيد ما شاء الله
“Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha?” Beliau menjawab: “Ya, empat rakaat dan ditambahnya menurut kehendak Allah.” (HR. Ibnu Majah No. 1381, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1381. Hadits ini juga diriwayatkan Muslim dan Ahmad)
Maka, bagaimana menjadi bid’ah, kalau nabi mau menambahkan jumlah rakaat pada waktu lain sesuai kehendak Allah?
Sedangkan Ummu Hani’ Radhiallahu ‘Anha mengatakan:
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى سبحة الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua rakaat.” (HR. Abu Daud No. 1290, Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan sanad hadits ini shahih. Fiqhus Sunnah, 1/211. Darul Kitab Al ‘Arabi)
‘Aisyah melihat nabi shalat dhuha empat rakaat dan Ummu Hani’ melihat nabi shalat dhuha delapan rakaat, apakah ini bermakna dilakukannya shalat dhuha oleh nabi hanya sekali seumur hidup??
Kedua. Sekalipun benar Beliau hanya melaksanakan shalat dhuha sekali saja, maka benarkah perbuatan yang tadinya dilakukan lalu setelah itu ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas dia menjadi bid’ah? Jika karena kekhawatiran hal itu nantinya dianggap wajib, maka tentunya ini sama dengan sunahnya tarawih berjamaah di malam Ramadhan, yang nabi sendiri hanya melakukannya tiga malam, lalu ditinggalkannya. Namun, kesunahan tarawih tetap berlaku.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berencena puasa tasu'a (9 Muharam), Beliau tidak sempat melaksanakannya lantaran ajalnya keburu menjemputnya. Namun demkikian, kesunahan puasa tasu'a tetap berlaku. Walau Beliau sendiri belum pernah melaksanakan.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam enggan makan Biawak sebagaimana Khalid bin Walid, tetapi tidak berarti Biawak haram.
Jadi, jika perbuatan yang nabi tinggalkan saja belum tentu bermakna perbuatan itu terhukum haram atau bid’ah, tentunya apalagi jika yang meninggalkan adalah manusia biasa seperti para sahabat, Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya.
Ketiga. Sekali pun bid’ah, maka ucapan Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma tentang shalat dhuha: Sebaik-baiknya bid’ah! Itu tidak berarti bid’ah yang sesat. Hal ini sama dengan ucapan ayahnya sendiri, Umar bin Al Khathab, ketika mengomentari jamaah tarawih yang dianjurkannya pada malam Ramadhan zamannya: Ni’matul Bid’ah Hadzihi (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini!). Ucapan Umar ini tidak bermakna shalat tarawih adalah bid’ah sesat, melainkan bid’ah secara bahasanya saja.
Keempat. Imam An Nawawi mengomentari sikap Ibnu Umar ini, bisa jadi belum sampai kepada Ibnu Umar berbagai riwayat tentang anjuran shalat dhuha, sebab orang akan bersikap sesuai dengan apa yang dilihat dan didengarkannya saja. Maka, wajarlah jika ia bersikap demikian.
Maka dari itu Imam Ibnu Jarir Ath Thabari –sebagaiana dikutip Imam Ibnul Qayyim- mengatakan – ketika menjelaskan beragamnya jumlah Rakaat shalat Dhuha – sebagai berikut :
وليس في هذه الأحاديث حديثّ يدفع صاحبه، وذلك أن من حكى أنه صلى الضحى أربعاً جائز أن يكون رآه في حال فعلِه ذلك، ورآه غيرُه في حالٍ أخرى صلى ركعتين، ورآه آخرُ في حال أخرى صلاها ثمانياً، وسمعه آخر يحثّ على أن يُصلي ستاً، وآخر يحثُّ على أن يُصلي ركعتين، وآخر على عشر، وآخر على ثنتي عشرة، فأخبر كلُّ واحد منهم عما رأى وسمع. قال: والدليل على صحة قولنا، ما روِيَ عن زيد بن أسلم قال. سمعتُ عبد اللّه بن عمر يقول لأبي ذر: أوصني يا عم، قال: سألتُ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم كما سألتني، فقال؟ "مَنْ صَلَّى الضّحَى رَكْعَتَيْنِ، لَمْ يكْتَبْ مِن الغَافِلِينَ، وَمَنْ صَلًى أربَعاً، كتِبَ مِنَ العَابِدين، ومَن صَلَّى سِتّاً، لَمْ يَلْحَقْةُ ذَلِكَ اليَوْمَ ذَنْبٌ، وَمَنْ صَلَّى ثَمانِياَ، كُتِبَ مِنَ القَانِتِينَ، ومَنْ صَلَّى عَشْراً بَنى اللَّه لَهُ بَيْتا في الجَنَّة".
وقال مجاهد: صلَّى رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم يوماً الضحى ركعتين، ثم يوماً أربعاً، ثم يوماً سِتّاً، ثم يوماً ثمانياً ثم تركَ. فأبان هذا الخبر عن صحة
ما قلنا من احتمال خبر كل مُخْبِرٍ ممن تقدم أن يكون إخبارُه لِما أخبر عنه في صلاة الضُّحى على قدر ما شاهده وعاينه.
والصواب: إذا كان الأمر كذلك: أن يُصلّيها من أراد على ما شاء من العدد. وقد روِيَ هذا عن قوم من السلف حدثنا ابنُ حميد، حدثنا جرير، عن إبراهيم، سأل رجل الأسود، كم أصلي الضحى؟ قال: كم شئت.
“Tentang hadits-hadits ini tidak ada yang mesti ditolak riwayatnya, begitu pula orang yang meriwayatkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat yang memang bisa jadi dia melihatnya seperti itu. Orang lain melihatnya pada kesempatan yang lain bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakannya dua rakaat. Orang lain lagi juga melihat pada kesempaan yang lain pula bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam melakukannya dengan delapan rakaat. Sebagian pihak mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan dengan enam rakaat, pihak lain menganjurkan dua rakaat, yang lain sepuluh rakaat, dan yang lainnya menganjurkan dua belas rakaat. Semua itu berasal dari apa yang mereka lihat dan dengar.” Dia (Ibnu Jarir) melanjutkan: “Dalil dari kebenaran pendapat kami ini adalah sebuah hadits yang menyebutkan:
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Aku melihat Abdullah bin Umar berkata kepada Abu Dzar: “Berwasiatlah kepadaku wahai pamanku!” Abu Dzar menjawab, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu minta kepadaku.” Lalu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha sebanyak dua rakaat, dia tidak ditulis termasuk golongan orang-orang yang lalai. Barangsiapa yang menunaikan empat rakaat dia dicatat termasuk golongan ahli ibadah. Barangsiapa menunaikan enam rakaat, maka dia tidak menemukan dosa pada hari itu. Barangsiapa yang menunaikan delapan rakaat, dia ditulis sebagai orang-orang yang tunduk kepada Allah. Dan, barangsiapa yang menunaikannya sepuluh rakaat, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.
Mujahid berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha dua rakaat, di hari lain empat rakaat, hari berikutnya enam rakaat. Hari berikutnya lagi delapan rakaat, kemudian tidak melakukannya.” Riwayat ini menjadi bukti kebenaran pendapat kami, bahwa setiap perawi menceritakan sesuai apa yang dilihatnya.
Yang benar, jika persoalannya seperti itu, maka setiap orang boleh melaksanakan shalat dhuha dengan jumlah rakaat yang dikehendakinya. Hal ini pernah diriwayatkan dari suatu kelompok ulama salaf. Diceritakan kepada kami dari Ibnu Humaid, diceritakan oleh kami dari Jarir, dari Ibrahim, bahwa Al Aswad bertanya kepadanya: “Berapa rakaat yang aku lakukan dalam shalat dhuha?” Dia menjawab: “Terserah kamu.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/352. Muasasah Ar Risalah)
Jadi, paling sedikit jumlah rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat, dan paling banyak dua belas rakaat sesuai dengan yang disabdakannya. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri paling banyak melakukan delapan rakaat. Sebagian ulama mengatakan tidak ada batasannya.
Berikut ini kami sampaikan keterangan tambahan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnahnya:
عدد ركعاتها: أقل ركعاتها اثنتان كما تقدم في حديث أبي ذر وأكثر ما ثبت من فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم ثماني ركعات، وأكثر ما ثبت من قوله اثنتا عشرة ركعة.
وقد ذهب قوم - منهم أبو جعفر الطبري وبه جزم المليمي والروياني من الشافعية - إلى أنه لاحد لاكثرها.
قال العراقي في شرح الترمذي: لم أر عن أحد من الصحابة والتابعين أنه حصرها في اثنتي عشرة ركعة. وكذا قال السيوطي.
وأخرج سعيد بن منصور عن الحسن أنه سئل: هل كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلونها؟ فقال: نعم..كان منهم من يصلي ركعتين، ومنهم من يصلي أربعا، ومنهم من يمد إلى نصف النهار.
وعن إبراهيم النخعي أن رجلا سأل الاسود بن يزيد: كم أصلي الضحى؟ قال: كما شئت.
وعن أم هانئ أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى سبحة الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين.
رواه أبو داود بإسناد صحيح.
وعن عائشة رضي الله عنها قالت: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى أربع ركعات ويزيد ما شاء الله) رواه أحمد ومسلم وابن ماجه.
“Jumlah rakaa shalat dhuha paling sedikit adalah dua rakaat, sebagaimana keterang hadits Abu Dzar sebelumnya, dan paling banyakyang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah delapan rakaat, dan paling banyak menurut apa yang dikatakannya adalah dua belas rakaat.
Sekelompok orang berpendapat –diantaranya Abu Ja’far Ath Thabari, juga Al Hulaimi dan Ar Ruyani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa banyaknya jumlah rakaat tidak ada batasannya. Al ‘Iraqi berkata dalam Syarh At Tirmidzi: “Saya belum melihat adanya pembatasan jumlah rakaat dari kalangan shahabat dan tabi’in yang hanya sampai dua belas rakaat saja.” Ini juga pendapat As Suyuthi.
Said bin Manshur meriwayatkan dari Al Hasan, bahwa beliau ditanya: Apakah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha? Dia menjawab: “Ya, diantara mereka ada yang shalat dua belas rakaat, ada yang empat, dan ada pula yang mengerjakannya sampai tengah hari.”
Dari Ibrahim An Nakha’i, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Al Aswad bin Yazid: “Berapa rakaatkah saya mesti shalat dhuha? Dia menjawab: “Sesuka hatimu.”
Dari Ummu Hani’, Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua rakaat. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan isnadnya shahih.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha empat rakaat dan dia menambahkannya sesuai yang Allah kehendaki.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/210-211. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Demikianlah pembahasan tentang jumlah rakaat dhuha, dan sekaligus menunjukkan bahwa beragamnya riwayat jumlah rakaat ini sebagai bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak hanya sekali melakukannya, dan sebagai sanggahan bagi yang membid’ahkannya.
Ada pun waktu pelakasanaannya adalah setelah terbitnya matahari dan berakhir sampai tergelincirnya matahari. Namun, yang paling utama adalah melakukan bukan di awalnya tetapi ketika mulai panas. Sebagaimana hadits dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat Awwabin (orang yang suka taubat) waktunya adalah ketika unta merasakan panas.” (HR. Muslim No. 748, Ad Darimi No. 1457, Ibnu Hibban No. 2539)
Maksud tarmadhul fishal (ketika Unta merasakan panas) adalah ketika dhuha. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
قَالَ أَصْحَابنَا : هُوَ أَفْضَل وَقْت صَلَاة الضُّحَى ، وَإِنْ كَانَتْ تَجُوز مِنْ طُلُوع الشَّمْس إِلَى الزَّوَال .
“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) telah berkata: ‘Itu adalah waktu yang paling utama untuk shalat dhuha, dan boleh saja melakukannya dari terbitnya matahari hingga tergelincirnya matahari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/88. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Demikian pembahasan tentang kesunahan shalat dhuha dan sedikit penjelasan tambahan tentang waktu pelaksanaannya. Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam
D. Banyak yang belum memahami keutamaan shalat yang satu ini. Ternyata shalat Dhuha bisa senilai dengan sedekah dengan seluruh persendian. Shalat tersebut juga akan memudahkan urusan kita hingga akhir siang. Ditambah lagi shalat tersebut bisa menyamai pahala haji dan umrah yang sempurna. Juga shalat Dhuha termasuk shalat orang-orang yang kembali taat.
Di antara keutamaan shalat Dhuha adalah:
Pertama: Mengganti sedekah dengan seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at” (HR. Muslim no. 720).
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian” (HR. Muslim no. 1007).
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ
“Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5: 354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at” (Syarh Muslim, 5: 234).
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus” (Nailul Author, 3: 77).
Kedua: Akan dicukupi urusan di akhir siang
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” (‘Aunul Ma’bud, 4: 118)
At Thibiy berkata, “Yaitu engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan dihilangkan dari hal-hal yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud, selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2: 478).
Ketiga: Mendapat pahala haji dan umrah yang sempurna
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Al Mubaarakfuri rahimahullah dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi (3: 158) menjelaskan, “Yang dimaksud ‘kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at’ yaitu setelah matahari terbit. Ath Thibiy berkata, “Yaitu kemudian ia melaksanakan shalat setelah matahari meninggi setinggi tombak, sehingga keluarlah waktu terlarang untuk shalat. Shalat ini disebut pula shalat Isyroq. Shalat tersebut adalah waktu shalat di awal waktu.”
Keempat: Termasuk shalat awwabin (orang yang kembali taat)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب، وهي صلاة الأوابين
“Tidaklah menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah shalat awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 164). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Awwab adalah muthii’ (orang yang taat). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang kembali taat” (Syarh Shahih Muslim, 6: 30).
Semoga Allah memberikan kita hidayah dan taufik untuk merutinkan shalat yang mulia ini. Wallahu waliyyut taufiq.
E. Tidak ada perselisihan di antara ulama mengenai jumlah rakaat minimal shalat dhuha, yakni dua rakaat berdasarkan hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan salat dhuha. Namun, mereka berbeda pendapat tentang berapakah jumlah rakaat maksimal shalat dhuha. Dalam hal ini setidaknya ada tiga pendapat:
Pertama, jumlah rakaat maksimal adalah delapan rakaat. Pendapat ini dipilih oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalil yang digunakan madzhab ini adalah hadis Umi Hani’radhiallaahu ‘anha, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya ketikafathu Mekah dan Beliau shalat delapan rakaat. (HR. Bukhari, no.1176 dan Muslim, no.719).
Kedua, rakaat maksimal adalah 12 rakaat. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanafi, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat lemah dalam Madzhab Syafi’i. Pendapat ini berdalil dengan hadis Anas radhiallahu’anhu
من صلى الضحى ثنتي عشرة ركعة بنى الله له قصرا من ذهب في الجنة
“Barangsiapa yang shalat dhuha 12 rakaat, Allah buatkan baginya satu istana di surga.” Namun hadis ini termasuk hadis dhaif. Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Mundziri dalam Targhib wat Tarhib. Tirmidzi mengatakan, “Hadis ini gharib (asing), tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini.” Hadis ini didhaifkan sejumlah ahli hadis, diantaranya Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhis Al-Khabir (2: 20), dan Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah (1: 293).
Ketiga, tidak ada batasan maksimal untuk shalat dhuha. Pendapat ini yang dikuatkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Hawi. Dalam kumpulan fatwanya tersebut, Suyuthi mengatakan, “Tidak terdapat hadis yang membatasi shalat dhuha dengan rakaat tertentu, sedangkan pendapat sebagian ulama bahwasanya jumlah maksimal 12 rakaat adalah pendapat yang tidak memiliki sandaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafidz Abul Fadl Ibn Hajar dan yang lainnya.”. Beliau juga membawakan perkataan Al-Hafidz Al-‘Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi, “Saya tidak mengetahui seorangpun sahabat maupun tabi’in yang membatasi shalat dhuha dengan 12 rakaat. Demikian pula, saya tidak mengetahui seorangpun ulama madzhab kami (syafi’iyah) – yang membatasi jumlah rakaat dhuha – yang ada hanyalah pendapat yang disebutkan oleh Ar-Ruyani dan diikuti oleh Ar-Rafi’i dan ulama yang menukil perkataannya.”
Setelah menyebutkan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, As-Suyuthy menyebutkan pendapat sebagian ulama malikiyah, yaitu Imam Al-Baaji Al-Maliky dalam Syarh Al-Muwattha’ Imam Malik. Beliau mengatakan, “Shalat dhuha bukanlah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi dengan bilangan tertentu yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, namun shalat dhuha termasuk shalat sunnah yang boleh dikerjakan semampunya.” (Al-Hawi lil fataawa, 1:66).
Setelah menyebutkan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, As-Suyuthy menyebutkan pendapat sebagian ulama malikiyah, yaitu Imam Al-Baaji Al-Maliky dalam Syarh Al-Muwattha’ Imam Malik. Beliau mengatakan, “Shalat dhuha bukanlah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi dengan bilangan tertentu yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, namun shalat dhuha termasuk shalat sunnah yang boleh dikerjakan semampunya.” (Al-Hawi lil fataawa, 1:66).
Kesimpulan dan Tarjih
Jika dilihat dari dalil tentang shalat dhuha yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallamjumlah rakaat maksimal yang pernah beliau lakukan adalah 12 rakaat. Hal ini ditegaskan oleh Al-‘Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi dan Al-‘Aini dalam Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari. Al-Hafidz Al ‘Aini mengatakan, “Tidak adanya dalil –yang menyebutkan jumlah rakaat shalat dhuha– lebih dari 12 rakaat, tidaklah menunjukkan terlarangnya untuk menambahinya.” (Umdatul Qori, 11:423)
Setelah membawakan perselisihan tentang batasan maksimal shalat dhuha, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang benar adalah tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dhuha karena:
Jika dilihat dari dalil tentang shalat dhuha yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallamjumlah rakaat maksimal yang pernah beliau lakukan adalah 12 rakaat. Hal ini ditegaskan oleh Al-‘Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi dan Al-‘Aini dalam Umdatul Qori Syarh Shahih Bukhari. Al-Hafidz Al ‘Aini mengatakan, “Tidak adanya dalil –yang menyebutkan jumlah rakaat shalat dhuha– lebih dari 12 rakaat, tidaklah menunjukkan terlarangnya untuk menambahinya.” (Umdatul Qori, 11:423)
Setelah membawakan perselisihan tentang batasan maksimal shalat dhuha, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang benar adalah tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dhuha karena:
- Hadis Mu’adzah yang bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha?” Jawab Aisyah, “Ya, empat rakaat dan beliau tambahi seseuai kehendak Allah.” (HR. Muslim, no. 719). Misalnya ada orang shalat di waktu dhuha 40 rakaat maka semua ini bisa dikatakan termasuk shalat dhuha.
- Adapun pembatasan delapan rakaat sebagaimana disebutkan dalam hadis tentang fathuMekah dari Umi Hani’, maka dapat dibantah dengan dua alasan: pertama, sebagian besar ulama menganggap shalatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika fathu Mekah bukan shalat dhuha namun shalat sunah karena telah menaklukkan negeri kafir. Dan disunnahkan bagi pemimpin perang, setelah berhasil menaklukkan negri kafir untuk shalat 8 rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah. Kedua, jumlah rakaat yang disebutkan dalam hadis tidaklah menunjukkan tidak disyariatkannya melakukan tambahan, karena kejadian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan rakaat adalah peristiwa kasuistik –kejadian yang sifatnya kebetulan– (As-Syarhul Mumthi’ ‘alaa Zadil Mustaqni’ 2:54).
F. Shalat Dhuha merupakan salah satu shalat sunnah yang menggambarkan orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab). Seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, dia berkata :”Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)”.
Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)”Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim yang diriwaytakan oleh [HR Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim (I/314), Ath-Thabrani (II/279-Majma’ul Bahrain)].
Subhanallah.....
Tapi apa yaa, keutamaan jikalau kita mengerjakan shalat Dhuha dalam setiap rakaatnya..??
Yuuuk.... ! liyat penuturan Rasulullah Saw dari Hadits Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, berikut :
SHALAT DHUHA 2 RAKAAT : “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah.
SHALAT DHUHA 4 RAKAAT : “Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah.
SHALAT DHUHA 6 RAKAAT : “Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu.
SHALAT DHUHA 8 RAKAAT : “Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh.
SHALAT DHUHA 12 RAKAAT: “Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga.
Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang di anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.
Subhanallah Walhamdulilillah...
Allah Maha Baik banget, yaa.. Bayangkan cuma shalat 12 rakaat shalat dhuha Dia telah membangunkan rumah di surga bagi kita, kereeennn gak tuh..!! Semoga kita digolongkan orang-orang yang beruntung.. amiinnn
G. Keutamaan, Manfaat, Rahasia Sholat Dhuha : Dari Abu Dzar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Pada pagi hari setiap tulang (persendian) dari kalian akan dihitung sebagai sedekah. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan kebaikan (amar ma’ruf) dan melarang dari berbuat munkar (nahi munkar) adalah sedekah. Semua itu cukup dengan dua rakaat yang dilaksanakan di waktu Dhuha.”
[HR. Muslim, Abu Dawud dan riwayat Bukhari dari Abu Hurairah]
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Kekasihku Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat kepadaku tiga perkara: [1] puasa tiga hari setiap bulan, [2] dua rakaat shalat Dhuha dan [3] melaksanakan shalat witir sebelum tidur.”
[HR. Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Ad-Darami]
[HR. Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Ad-Darami]
Dari Abud Darda, ia berkata: “Kekasihku telah berwasiat kepadaku tiga hal. Hendaklah saya tidak pernah meninggalkan ketiga hal itu selama saya masih hidup: [1] menunaikan puasa selama tiga hari pada setiap bulan, [2] mengerjakan shalat Dhuha, dan [3] tidak tidur sebelum menunaikan shalat Witir.”
[HR. Muslim, Abu Dawud, Turmuzi dan Nasa’i]
[HR. Muslim, Abu Dawud, Turmuzi dan Nasa’i]
Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]
Dari Abu Said [Al-Khudry], ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhuha, sehingga kami mengira bahwa beliau tidak pernah meninggalkannya. Dan jika beliau meninggalkannya, kami mengira seakan-akan beliau tidak pernah mengerjakannya”.
[HR. Turmuzi, hadis hasan]
[HR. Turmuzi, hadis hasan]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat Dhuha itu dapat mendatangkan rejeki dan menolak kefakiran. Dan tidak ada yang akan memelihara shalat Dhuha melainkan orang-orang yang bertaubat.”
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]
Anjuran Shalat Dhuha
Dari Aisyah, ia berkata: “Saya tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat Dhuha, sedangkan saya sendiri mengerjakannya. Sesungguhnya Rasulullah SAW pasti akan meninggalkan sebuah perbuatan meskipun beliau menyukai untuk mengerjakannya. Beliau berbuat seperti itu karena khawatir jikalau orang-orang ikut mengerjakan amalan itu sehingga mereka menganggapnya sebagai ibadah yang hukumnya wajib (fardhu).”
[HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Malik dan Ad-Darami] ditulis di blog fadlie.web.id
[HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Malik dan Ad-Darami] ditulis di blog fadlie.web.id
Dalam Syarah An-Nawawi disebutkan:
Aisyah berkata seperti itu karena dia tidak setiap saat bersama Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah memiliki istri sebanyak 9 (sembilan) orang. Jadi Aisyah harus menunggu selama 8 hari sebelum gilirannya tiba. Dalam masa 8 hari itu, tidak selamanya Aisyah mengetahui apa-apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah istri beliau yang lain.
Aisyah berkata seperti itu karena dia tidak setiap saat bersama Rasulullah. Pada saat itu Rasulullah memiliki istri sebanyak 9 (sembilan) orang. Jadi Aisyah harus menunggu selama 8 hari sebelum gilirannya tiba. Dalam masa 8 hari itu, tidak selamanya Aisyah mengetahui apa-apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah istri beliau yang lain.
Waktu Afdol untuk Shalat Dhuha
Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan shalat Dhuha [pada waktu yang belum begitu siang], maka ia berkata: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat Dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalatnya orang-orang yang kembali kepada ALLAH adalah pada waktu anak-anak onta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari”.
[HR. Muslim]
[HR. Muslim]
Penjelasan:
Anak-anak onta sudah bangun karena panas matahari itu diqiyaskan dengan pagi hari jam 08:00, adapun sebelum jam itu dianggap belum ada matahari yang sinarnya dapat membangunkan anak onta.
Anak-anak onta sudah bangun karena panas matahari itu diqiyaskan dengan pagi hari jam 08:00, adapun sebelum jam itu dianggap belum ada matahari yang sinarnya dapat membangunkan anak onta.
Jadi dari rincian penjelasan diatas dapat disimpulkan waktu yg paling afdol untuk melaksanakan dhuha adalah Antara jam 08:00 ~ 11:00
Jumlah Rakaat Shalat Dhuha
>> 4 RAKAAT
Dari Mu’dzah, bahwa ia bertanya kepada Aisyah: “Berapa jumlah rakaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menunaikan shalat Dhuha?”
Aisyah menjawab: “Empat rakaat dan beliau menambah bilangan rakaatnya sebanyak yang beliau suka.”
[HR. Muslim dan Ibnu Majah]
Dari Mu’dzah, bahwa ia bertanya kepada Aisyah: “Berapa jumlah rakaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menunaikan shalat Dhuha?”
Aisyah menjawab: “Empat rakaat dan beliau menambah bilangan rakaatnya sebanyak yang beliau suka.”
[HR. Muslim dan Ibnu Majah]
>> 12 RAKAAT
Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]
Dari Anas [bin Malik], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 (dua belas) rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di syurga”.
[HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan]
>> 8 RAKAAT
Dari Ummu Hani binti Abu Thalib, ia berkata: “Saya berjunjung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Fathu (Penaklukan) Makkah. Saya menemukan beliau sedang mandi dengan ditutupi sehelai busana oleh Fathimah putri beliau”.
Ummu Hani berkata: “Maka kemudian aku mengucapkan salam”. Rasulullah pun bersabda: “Siapakah itu?” Saya menjawab: “Ummu Hani binti Abu Thalib”. Rasulullah SAW bersabda: “Selamat datang wahai Ummu Hani”.
Sesudah mandi beliau menunaikan shalat sebanyak 8 (delapan) rakaat dengan berselimut satu potong baju. Sesudah shalat saya (Ummu Hani) berkata: “Wahai Rasulullah, putra ibu Ali bin Abi Thalib menyangka bahwa dia boleh membunuh seorang laki-laki yang telah aku lindungi, yakni fulan Ibnu Hubairah”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “sesungguhnya kami juga melindungi orang yang kamu lindungi, wahai Ummu Hani”.
Ummu Hani juga berkata: “Hal itu (Rasulullah shalat) terjadi pada waktu Dhuha.”
[HR. Muslim]
Dari Ummu Hani binti Abu Thalib, ia berkata: “Saya berjunjung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Fathu (Penaklukan) Makkah. Saya menemukan beliau sedang mandi dengan ditutupi sehelai busana oleh Fathimah putri beliau”.
Ummu Hani berkata: “Maka kemudian aku mengucapkan salam”. Rasulullah pun bersabda: “Siapakah itu?” Saya menjawab: “Ummu Hani binti Abu Thalib”. Rasulullah SAW bersabda: “Selamat datang wahai Ummu Hani”.
Sesudah mandi beliau menunaikan shalat sebanyak 8 (delapan) rakaat dengan berselimut satu potong baju. Sesudah shalat saya (Ummu Hani) berkata: “Wahai Rasulullah, putra ibu Ali bin Abi Thalib menyangka bahwa dia boleh membunuh seorang laki-laki yang telah aku lindungi, yakni fulan Ibnu Hubairah”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “sesungguhnya kami juga melindungi orang yang kamu lindungi, wahai Ummu Hani”.
Ummu Hani juga berkata: “Hal itu (Rasulullah shalat) terjadi pada waktu Dhuha.”
[HR. Muslim]
Tata Cara Shalat Dhuha
- Berniat untuk melaksanakan shalat sunat Dhuha setiap 2 rakaat 1 salam. Seperti biasa bahwa niat itu tidak harus dilafazkan, karena niat sudah dianggap cukup meski hanya di dalam hati.
- Membaca surah Al-Fatihah
- Membaca surah Asy-Syamsu (QS:91) pada rakaat pertama, atau cukup dengan membaca Qulya (QS:109) jika tidak hafal surah Asy-Syamsu itu.
- Membaca surah Adh-Dhuha (QS:93) pada rakaat kedua, atau cukup dengan membaca Qulhu (QS:112) jika tidak hafal surah Adh-Dhuha.
- Rukuk, iktidal, sujud, duduk dua sujud, tasyahud dan salam adalah sama sebagaimana tata cara pelaksanaan shalat fardhu.
- Menutup shalat Dhuha dengan berdoa. Inipun bukan sesuatu yang wajib, hanya saja berdoa adalah kebiasaan yang sangat baik dan dianjurkan sebagai tanda penghambaan kita kepada ALLAH.
catatan :
>> Sebagaimana shalat sunat lainnya, Dhuha dikerjakan dengan 2 rakaat 2 rakaat, artinya pada setiap 2 rakaat harus diakhiri dengan 1 kali salam.
>> Sebagaimana shalat sunat lainnya, Dhuha dikerjakan dengan 2 rakaat 2 rakaat, artinya pada setiap 2 rakaat harus diakhiri dengan 1 kali salam.
>> Adapun surah-surah yang dibaca itu tidak ada hadis yang mengaturnya melainkan sekedar ijtihad belaka, kecuali membaca Qulya dan Qulhu adalah sunnah Rasulullah, tetapi bukan untuk shalat Dhuha, melainkan shalat Fajr. Kita tidak dibatasi membaca surah yang manapun yang kita sukai, karena semua Al-Qur’an adalah kebaikan.
>> Doa pun tidak dibatasi, kita boleh berdoa apa saja asalkan bukan doa untuk keburukan.
>> Doa yang terkenal dalam mazhab Syafi’i ada pada slide selanjutnya. Selain doa itu kita boleh membaca doa yang kita sukai. Namun karena ada aturan mazhab, maka hendaklah kita jangan melupakan agar memulai doa itu dengan menyebut nama ALLAH, memuji syukur kepada-NYA dan kemudian bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Do’a Sesudah Shalat Dhuha
ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘ADHUHAA ‘UKA – WAL BAHAA ‘ABAHAA ‘UKA – WAL JAMAALA JAMAALUKA – WAL QUWWATA QUWWATUKA – WAL QUDRATA QUDRATUKA – WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA.
ALLAAHUMMA IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU – WA IN KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU – WA IN KAANA MU’ASSARAN FA YASSIRHU – WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU – WA IN KAANA BA’IIDAN FA QARRIBHU, BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WA JAMAALIKA, WA QUWWATIKA, WA QUDRATIKA.
AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.
ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘ADHUHAA ‘UKA – WAL BAHAA ‘ABAHAA ‘UKA – WAL JAMAALA JAMAALUKA – WAL QUWWATA QUWWATUKA – WAL QUDRATA QUDRATUKA – WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA.
ALLAAHUMMA IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU – WA IN KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU – WA IN KAANA MU’ASSARAN FA YASSIRHU – WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU – WA IN KAANA BA’IIDAN FA QARRIBHU, BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WA JAMAALIKA, WA QUWWATIKA, WA QUDRATIKA.
AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.
Artinya:
“Wahai ALLAH, bahwasanya waktu Dhuha itu waktu Dhuha-MU – dan kecantikan adalah kecantikan-MU – dan keindahan adalah keindahan-MU – dan kekuatan adalah kekuatan-MU – dan kekuasaan adalah kekuasaan-MU – dan perlindungan itu adalah perlindungan-MU.
Wahai ALLAH, jikalau rejekiku masih diatas langit, maka turunkanlah – Dan jikalau ada didalam bumi maka keluarkanlah – dan jikalau sukar maka mudahkanlah – dan jika haram maka sucikanlah – dan jikalau masih jauh maka dekatkanlah dengan berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-MU.
Limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yang shaleh.
H. Shalat Dhuha itu memiliki keutamaan dan faedah yang sangat agung. Orang yang mengerjakan shalat Dhuha selalu berada dalam penjagaan dan perlindungan dari Allah f sepanjang hari; dosa-dosanya dihapuskan; terjaga dari perbuatan-perbuatan buruk; dimasukkan ke dalam golongan muhsinîn (orang-orang berbuat ihsan), ahli ibadah dan menjadi golongan yang beruntung; dibangunkan rumah di dalam surga; memperoleh pahala seperti pahala menunaikan haji dan umrah; serta sepadan dengan sedekah 360 kali. Pahadal sedekah ini menjadi kewajiban setiap ruas tubuh manusia setiap harinya.
8JAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar