Kamis, 17 Maret 2011

Pidato-Pidato di hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Soekarno

Atas izin Bapak Arief Suryadi kami sajikan  petikan beberapa pidato di hari-hari terakhir kekuasaan si Bung.




Amanat Presiden Sukarno pada Pelantikan Para Menteri Baru Kabinet Dwikora di Istana Merdeka, Jakarta, 24 Februari 1966 (Buku II Revolusi Belum Selesai hlm. 1)



Barangkali ada baiknya ini kali saya tegaskan sekali lagi, salah anggapan seseorang atau golongan bahwa saya, apalagi sebagai Pemimpin Besar Revolusi, tetapi juga sebagai persoon, bisa dan mau dijungkrak-jungkrakkan, didorong-dorong, dituntut-tuntut. Dalam bahasa Inggris, I know my job, I know my job!... Tidak peduli dari mana itu! Tidak dari PKI, tidak dari KAMI! (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia—Red). Malahan pernah saya berkata, hier sta ik, di sini aku berdiri, inilah Bung Karno, inilah Perdana Menteri, inilah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, inilah Pemimpin Besar Revolusi! Saya tidak akan mundur setapak pun, tidak akan mundur setapak pun, tidak akan mundur, kataku di Bogor tempo hari! Ini pimpinanku! Saya menghendaki agar supaya pimpinanku itu diikuti jikalau memang aku ini masih dianggap Pemimpin Besar Revolusi.



Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Umum Hari Wanita Internasional di Istora Senayan, Jakarta, 8 Maret 1966 (Buku II Revolusi Belum Selesai hlm. 53)



Ada ibu-ibu rumah tangga yang mengatakan, ya, tuntutan mereka (para mahasiswa yang meminta harga diturunkan serta PKI dan kabinet Dwikora dibubarkan—Red) sebenarnya benar, minta ini minta itu, menuntut ini menuntut itu. He ibu-ibu rumah tangga, sadarlah bahwa di belakang tuntutan itu ada hal-hal yang harus kita ketahui.



Aku ini, saudara-saudara, kalau boleh mengadakan suatu perbandingan, seperti bandingannya Nabi Isa yang pada waktu menderita memohon kepada Tuhan: Heer, want ze weten niet wat ze doen. Ya Tuhan, ampunilah mereka, sebab mereka itu sebetulnya tidak mengerti....



Oleh karena itu, aku, aku kepada anak-anak kecil, kepada wanita-wanita, kepada pemuda-pemuda yang sekarang ini on the move mengongkrek-ongkrek kewibawaan pemerintah..., meskipun mereka mengatakan Hidup Bung Karno, Hidup Bung Karno; aku juga berkata demikian..., Ya Tuhan ampunilah kepada mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.



Amanat Presiden Sukarno pada Pengambilan Sumpah dan Pelantikan Para Menteri Utama dan Para Menteri Dalam Kabinet Ampera, Istana Negara, Jakarta, 28 Juli 1966 (Buku II Revolusi Belum Selesai hlm. 183 dan 185)



Saya plong MPRS mengukuhkan Surat Perintah saya, 11 Maret. Boleh dikatakan Surat Perintah saya 11 Maret itu diambil oper oleh MPRS....



Jadi saudara-saudara jangan salah pengertian lo, jangan kira bahwa saya merasa, apa itu, terjegal atau bagaimana, manakala MPRS mengukuhkan SP 11 Maret itu. Oo, tidak! Saya malah gembira, malah senang bahwa perintah saya 11 Maret itu, bukan hanya perintah saya saja, tetapi perintah yang seluruhnya diambil oper oleh MPRS....



Saya baca sekali lagi. Memutuskan, memerintahkan kepada Pak Harto untuk—dengarkan betul-betul ya—atas nama Presiden/Pemimpin Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: satu, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi....



Ini saya terangkan begini, saudara-saudara, apalagi para asing, pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah a transfer of authority to General Suharto. Tidak. It is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan untuk ini untuk itu, untuk itu."



Amanat Presiden Sukarno di Hadapan Para Mahasiswa HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di Istana Bogor, 18 Desember 1965 (Buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 302)



Karena itu, saya selalu mengadakan appeal kepada semua, semua, semua, semua golongan dari rakyat Indonesia ini, jangan memecahkan negara, jangan memecahkan bangsa. Khusus mengenai Islam, orang Islam, saya kadang-kadang sedih melihat bahwa di kalangan orang Islam tidak mengerti hukum-hukum Islam itu.... Misalnya, ya, misalnya di Jawa Timur. Demikian dilaporkan oleh Gubernur Jawa Timur, oleh Panglima Jawa Timur, dan juga dari pengetahuan info-info kami sendiri, di Jawa Timur atau Jawa Tengah itu banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI atau orang yang hanya simpati saja kepada PKI dibunuh, disembelih, atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian.



Tapi kemudian ini jenazah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, ngerumat itu bahasa Jawa Timur. Apa ngerumat, mengurus, ngerumat jenazah ini, awas, engkau pun akan kami bunuh. Malah banyak jenazah ini di-keler-kan begitu saja.



Amanat PJM Presiden Sukarno pada Pembukaan Konferensi Para Gubernur Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, 13 Desember 1965 (hlm. 247, buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 248)



Begini, tatkala sudah terjadi Lubang Buaya, jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal kita dibawa ke sana dan dimasukkan ke dalam sumur. Ooh, itu wartawan-wartawan surat kabar menulis bahwa jenderal-jenderal itu disiksa di luar perikemanusiaan. Semuanya katanya, maaf saudari-saudari, semuanya dipotong mereka punya kemaluan. Chaerul ndak ngerti kemaluan itu apa? Malahan belakangan juga di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita, yang bernama Djamilah, menyatakan motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu pisau silet, tetapi lebih dulu 100 anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipergunakan untuk mengiris-iris kemaluan. Demikian pula dikatakan bahwa di antara jenderal-jenderal itu matanya dicukil....



Saya pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand (akal sehat), saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya gezond verstand itu saya betwijfellen, ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat dari pembakaran yang demikian ini. Akibatnya ialah masyarakat seperti dibakar...!



Nah, saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti bahwa memang benar sangkaan saya itu. Bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan dalam Lubang Buaya itu tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya dari mana? Visum repertum daripada tim dokter-dokter yang memeriksa jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan dalam sumur Lubang Buaya itu.



Pidato PJM Presiden Sukarno pada Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor, pada 6 Nopember 1965 (Buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 82)



"Ik ga weer iets uit de school, klappen, saudara-saudara. Rahasia. Kami, di antara banyak bukti-bukti itu, mempunyai satu bukti bahwa Amerika uit de hand van Duta Besar Jones—Jones itu persoonlijk begitu baik kepada saya—pernah memberikan uang 150 juta kepada seseorang. Het is veel (banyak) lo, 150 juta rupiah..., 150 juta rupiah diberikan kepada seseorang untuk apa? Ternyata dari surat serah dan surat terima—atas sumpah lo, dengan sumpah bahwa uang ini dipergunakan untuk apa? Untuk menganjurkan, atau mempropagandakan, untuk memperkembangkan, di sini the free world ideology ..."



Amanat PJM Presiden Sukarno pada Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, 23 Oktober 1965 (Buku I Revolusi Belum Selesai, hlm. 44)



Tapi kadang-kadang itu cuma ucapan mulut saja. Bukan dari semua, dari beberapa oknum. Ucapan mulut katanya taat, tetapi di dalam perbuatannya saya merasa oleh mereka itu dikentutin sama sekali! Dan tegas saya punya perintah ialah jangan bakar-bakar, jangan kobar-kobarkan sentimen....



Saya terus terang, pada satu hari ik heb eruit gedondera (saya tendang keluar) seorang yang memimpin surat kabar ini, eruit! Oleh karena dia itu membakar terus. Dan membakar secara kampung, saudara-saudara. Kemarin pun saya sudah marah-marah lagi. Achmadi, saya merasa marah. Salah satu surat kabar mengatakan misalnya Bapak Djuanda matinya oleh karena minum! Minuman dari RRT (sebutan untuk Cina ketika itu—Red). Ya apa tidak, ada surat kabar menulis begitu! Coba, ini saya mengerti, saya tahu, maksudnya ini ialah menghasut kita agar supaya curiga kepada RRT, marah kepada RRT.... Tapi itu sengaja, saudara-saudara, dari pihak surat kabar ini membangunkan suasana benci kepada RRT, benci kepada Tionghoa. Apa akibatnya nanti? Rasialisme berkobar-kobar di sini

Tidak ada komentar: