Di antaranya, Al Mawardi ketika menyampaikan, kemudian mengomentari
hadits ini. 'pokok dari pekerjaan mulia adalah (az-zur') menanam,
(at-tijarah) berdagang, dan (as-shana'ah) berkreasi. Sedangkan pendapat
yang masyhur (populer) dari mazhab Syafi'iyah, pekerjaan yang paling
baik adalah berdagang. tentunya berdagang yang bersih dari tipu-menipu,
seperti yang dicontohkan baginda Nabi Muhammad Shallahu 'alaihi
wasallam.
Imam Nawawi rahimahulLah, ketika menukil pendapat Al Mawardi di atas
menambahkan, menurut saya pendapat yang arjah (lebih kuat) adalah
az-zur' (bertanam), karena dalam bertanam selain banyak bertawakal juga
memberi kemanfaatan pada orang lain, juga hewan-hewan, serta
burung-burung. Dan juga yang dilakukan Nabiyullah Dawud 'alahissalam
yang makan dari hasil tangan-nya sendiri. [Subulussalam Sarh Bulughul
Maram, Bab Buyu']
Keterangan lebih baik di sini dikategorikan lebih berkah, tentunya dengan arti al-barakah adalah ziyadatu al khair' yang berarti menambah kebaikan.
Wallahu a'lam
Sobekan 3.
PARA NABI DAN SALAFUSH SHALIH JUGA BEKERJA
Oleh
Ustadz Abu Humaid ‘Arif Syarifuddin
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia ke dunia ini,
Dia juga memberikan ilham melalui fitrah dan akal mereka untuk mencari
sebab-sebab memperoleh rezeki yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menyediakan berbagai sarana guna mempertahankan kehidupan
manusia di dunia ini, yaitu bekerja mencari beragam penghidupan yang
dibolehkan syari’at.
Tuntutan fitrah ini, tidak hanya berlaku pada umumnya manusia,
melainkan berlaku pula atas manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari kalangan para nabi dan rasul Allah, termasuk pula rasul yang
paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula
orang-orang yang mengikutinya dari para salafush shalih dari generasi
sahabat maupun setelahnya.
Berikut ini kami nukilkan beberapa ayat, hadits maupun atsar (riwayat
tentang sahabat atau tabi’in) yang mengisyaratkan tentang hal ini.
Semoga bermanfaat.
PEKERJAAN PERTUKANGAN, INDUSTRI DAN KERAJINAN TANGAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Nuh Alaihissallam:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami ..” [Hud : 37].
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nuh
Alaihissallam untuk membuat bahtera (perahu besar) yang memberi isyarat
tentang pekerjaan menukang dan industri. Artinya, pekerjaan tukang dan
industri merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh
manusia untuk dijadikan sebagai mata pencahariannya. Allah telah
memberikan kemampuan berindustri membuat baju-baju besi kepada Nabi Daud
Alaihissallam :
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ.
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu,
guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur
(kepada Allah)”. [Al Anbiya’ : 80].
… وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي
السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“… dan Kami telah melunakkan besi untuknya (yakni Daud); (yaitu)
buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan
kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu
kerjakan”. [Saba’ : 10-11].
Dengan kemampuan yang Allah karuniakan itulah, Nabi Daud
Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau makan dari
hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja [1]. Hal ini telah dijelaskan
pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya
sendiri”. [HR Bukhari no. 1967 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji
orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan
pujian ini dengan menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ .
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan
hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari
hasil jerih payahnya sendiri”. [HR Bukhari no. 1966 dari Al Miqdam bin
Ma’diyakrib Radhiyallahu ‘anhu].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan
Nabi Daud Alaihissallam dalam hadits di atas, lantaran Daud
Alaihissallam seorang nabi dan raja. Biasanya, para raja tidak perlu
bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, karena telah
dipenuhi oleh para pekerja dan pelayannya.
Masih tentang pekerjaan pertukangan ini, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan tentang Nabi Zakariya Alaihissallam :
كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .
“Zakariya Alaihissallam dulu adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim no. 2379 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Imam An Nawawi menjelaskan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya
berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak menjatuhkan kewibawaan
(seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia. Dalam hadits ini (juga)
terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya Alaihissallam, karena ia
(bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil jerih payahnya” [2]. Oleh
karena itu, Imam Muslim membawakan hadits ini dalam bab Min Fadhail
Zakariya Alaihissallam [di antara keutamaan-keutamaan Zakariya
Alaihissallam].
Ibnu Hajar menukil apa yang diriwayatkan Ats Tsauri dalam Tafsir-nya,
dari Asy’ats dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata: “Lukman (Al Hakim), dulu adalah seorang budak habsyi dan
seorang tukang”. Lihat Fathul Bari (6/466).
Pekerjaan seperti di atas juga telah dikenal pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Bahkan di kalangan wanitanya sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam
riwayat-riwayat berikut.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ
أَجْعَلُ لَكَ شَيْئاً تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلاماً نَجَّاراً.
قَالَ: إِنْ شِئْتِ فَعَمِلْتِ الْمِنْبَرَ
“Jabir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa ada seorang wanita
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai
Rasulullah, tidakkah saya buatkan sesuatu untuk tempat dudukmu?
Sesungguhnya saya punya budak ahli pertukangan,” maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,”Jika engkau mau (melakukannya), maka engkau
buatkan mimbar saja.” [HR Al Bukhari no. 438].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ بِالصَّدَقَةِ،
فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ: أَيُجْزِيْنِي مِنَ
الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ
لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى
كُلِّ حَالٍ؟ ، قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: وَكَانَتْ صَنَّاعَ الْيَدَيْنِ .
“Ummu Salamah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami bershadaqah”. Maka Zainab –isteri Abdullah (bin
Mas’ud)- berkata: “Apakah boleh aku bershadaqah suamiku yang fakir dan
kemenakan-kemenakanku yang yatim, dan aku menghidupi mereka dengan ini
dan itu?” Rasulullah n menjwab,”Ya, boleh.” (Perawi) berkata: “Dan ia
(Zainab) adalah wanita pembuat kerajinan tangan”. [HR Ibnu Majah no.
1835. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.
Asal hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari no. 1397 dan Muslim no.
1000].
Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan tentang Zainab binti Jahsy
(salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) –ketika
wafatnya :
… وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةً صَنَّاعَةَ الْيَدِ، فَكَانَتْ
تَدْبَغُ وَتَخْرِزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللهِ . أخرجه الحاكم (4/26)
وقال: هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.
“Dan Zainab adalah wanita pengrajin tangan, ia menyamak kulit dan
melobangi (serta menjahit)nya untuk dibuat khuf atau lainnya. Lalu ia
bershadaqah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [HR Al Hakim 4/26 dan
beliau berkata: “Ini hadits shahih sesuai syarat (standar) Muslim, tapi
tidak diriwayatkan oleh Bukhari maupun Muslim”]
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin Al
Abrash yang menuturkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu (menetapkan)
jaminan (atas) tukang.
Ia juga meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Umar bin Al Khaththab
(menetapkan) jaminan atas setiap buruh (industri atau kerajinan) bila si
pekerja merusakkan barang orang-orang yang menginginkannya membuat
sesuatu untuk mereka dari barang tersebut. Lihat Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah (4/360).
Demikian pula masa setelah sahabat Radhiyallahu ‘anhum, seperti
disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad ketika menjelaskan salah seorang
perawi tabi’in dalam sanad berikut.
Telah bercerita kepada kami Waqi’ (ia berkata), telah bercerita
kepada kami Yazid bin Abu Shalih, dan ia adalah seorang penyamak kulit,
memiliki postur yang bagus, dan ia memiliki empat hadits, ia berkata:
“Aku mendengar Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ‘Akan ada sekelompok manusia yang masuk neraka, hingga
hangus menjadi arang…al hadits. Lihat Musnad Ahmad (3/183).
MENGGEMBALAKAN HEWAN TERNAK
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang Musa Alaihissallam:
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.
“Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan
yang lain padanya.” [Thaahaa : 18].
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Musa Alaihissallam dahulu bekerja
menggembalakan kambing-kambing. Dengan bantuan tongkat di tangannya, ia
menjatuhkan dedaunan dari pohon untuk memberi makan hewan gembalaannya
[3]. Pekerjaan inilah yang banyak digeluti para nabi, termasuk nabi dan
rasul yang paling mulia Muhammad n . Rasulullah n menceritakan dalam
sabdanya :
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ
أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى
قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ . رواه البخاري.
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah
menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu
menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah
beberapa qirath.” [HR Al Bukhari no. 2143 dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu . Lihat pula Shahihul Jami’ no. 5581]
Satu qirath = seperduapuluh dinar.
Demikian pula yang berlaku pada sebagian sahabatnya, seperti dalam riwayat berikut ini.
Abdullah bin Rafi’ menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,”Mengapa engkau dijuluki Abu Hurairah?” Ia
balik bertanya,“Apakah engkau ingin merendahkan aku?” Aku jawab,“Tidak.
Demi Allah, aku amat menghormatimu.” Ia pun berkata,“Aku dahulu
menggembalakan kambing-kambing milik keluargaku. Waktu itu, aku
mempunyai kucing kecil yang kuletakkan di sebuah pohon pada malam hari.
Siang harinya aku bermain bersamanya, maka mereka pun menjulukiku Abu
Hurairah (bapaknya kucing kecil).” [HR At Tirmidzi no. 3016 dengan sanad
hasan. Lihat Shahih At Tirmidzi (3/235].
BERDAGANG ATAU BERNIAGA
Aktifitas dagang atau jual beli (dengan beragam bentuknya yang
dibolehkan syari’at) banyak dikerjakan oleh manusia. Para nabi juga
tidak lepas dari aktifitas ini, sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ …
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan : 20].
Dan tentang RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman :
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي
الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً
“Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” [Al Furqan : 7].
Imam Al Qurthubi berkata, “Masuk pasar dibolehkan untuk berniaga dan
mencari penghidupan. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu masuk
pasar untuk memenuhi hajatnya, disamping untuk mengingatkan manusia
akan perintah Allah, berdakwah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyodorkan diri kepada kabilah-kabilah yang datang. Semoga Allah
mengembalikan mereka kepada kebenaran.” Lihat Tafsir al Qurthubi (13/5).
Ibnu Katsir, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak
mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan
berjalan di pasar-pasar”, beliau berkata: Yakni mereka (para rasul)
adalah manusia. Mereka makan dan minum sebagaimana layaknya manusia yang
lain, serta memasuki pasar untuk mencari penghasilan dan berniaga. Dan
itu, tidaklah merugikan mereka lagi tidak mengurangi sedikitpun
kedudukan mereka. (Tidak) sebagaimana yang disangka oleh kaum musyrikin
ketika mereka mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam “Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan
berjalan di pasar-pasar”. ” Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/175).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ketika masa mudanya
sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Beliau pernah berdagang ke
negeri Syam dengan ditemani budak lelaki Khadijah yang bernama Maisarah,
membawa barang-barang perniagaan milik Khadijah Radhiyallahu ‘anha
sebelum menikahinya. Lihat Sirah Ibnu Hisyam (2/5-6). Pekerjaan inilah
yang banyak digeluti oleh para sahabat, baik ketika masa jahiliyah
maupun setelah Islam, terutama dari kalangan Muhajirin. Diceritakan oleh
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Dan sesungghnya saudara-saudara kami
kaum Muhajirin sibuk dengan urusan niaga di pasar. Sedangkan
saudara-saudara kami kaum Anshar sibuk mengusahakan (memutar) harta
mereka …” [HR Bukhari no. 118].
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu pernah keluar berniaga ke Bushra (Syam) pada masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengkhususan terhadap Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mencegah Abu Bakar, yaitu untuk
tidak memberikan bagiannya dari barang-barang perniagaan. Hal itu karena
kekaguman dan kesukaan mereka dengan usaha niaga. Dan tidaklah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah Abu Bakar dari
memperjualbelikan barang-barang niaganya karena kecintaan, kedekatan dan
pengkhususannya terhadap Abu Bakar -dan sungguh bersahabat dengannya
amat mengagumkan-, karena anjuran dan kekaguman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap usaha niaga.” [HR Ath Thabarani dalam Al
Mu’jam Al Kabir, 23/30. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 2929]
Shakhr bin Wada’ah Al Ghamidi menceritakan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا . وَكَانَ إِذَا بَعَثَ
سَرِيَّةً أَوْجَيْشاً بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَكَانَ صَخْرٌ
رَجُلاً تَاجِراً، وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ
فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ.
“Ya, Allah. Berkahilah untuk umatku di pagi harinya.” Dan apabila
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, Beliau
mengutusnya pada awal siang (pagi hari). Dan adalah Shakhr seorang
pedagang; ia mengirimkan perniagaannya dari awal siang (pagi hari), maka
ia pun menjadi kaya raya dan banyak harta”. [HR Abu Dawud no. 2606, At
Tirmidzi no. 1212, An Nasa-i dalam As Sunan Al Kubra, no. 8833, Ibnu
Majah no. 2236 dan Ibnu Hibban 11/62-63. At Tirmidzi berkata, “Hadits
ini hasan derajatnya. Dan tidak diketahui Shakhr meriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits ini.” Lihat Shahih At
Targhib wa At Tarhib, no. 1693]
Al Barra’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu pernah
ditanya tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak), maka keduanya
menjawab: “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu,
kami pernah berdagang. Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak). Maka Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Jika dari tangan ke tangan
(masing-masing langsung memperoleh barangnya), maka tidak mengapa. Tapi
kalau dengan nasi’ah (dengan tempo dan masing-masing atau salah satu
tidak memperoleh barangnya), maka tidak boleh’.”[4] [HR An Nasaa-i, no.
4576 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan An
Nasa-i].
Urwah bin Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Abdullah
bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu pernah berdagang sesuatu. Lalu Ali
Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:“Sungguh saya akan mendatangi
Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan akan memboikotmu,” maka Ibnu Ja’far
memberitahukan hal itu kepada Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu . Az Zubair
Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ibnu Ja’far Radhiyallahu ‘anhu : “Saya
berserikat denganmu (pantner) dalam perniagaan.” Kemudian Ali
Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan berkata:
“Sesungguhnya Ibnu Ja’far telah melakukan perniagaan begini …, maka
boikotlah dia.” Tetapi Az Zubair berkata,“Saya adalah partnernya.” Maka
Utsman berkata: “Bagaimana saya akan memboikot seseorang, sementara
partnernya adalah Az Zubair.” [HR Al Baihaqi, 6/61 dan Asy Syafi’i dalam
Al Musnad, 1/384. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al
Ghalil, no. 1449].
Utsman bin Affan bercerita: Aku pernah menjual kurma di pasar, lalu
aku mengatakan, “Aku telah menakarnya dalam wasaq-ku ini sekian, lalu
aku membayar beberapa wasaq kurma dengan takaran (wasaq)nya dan aku
mengambil keuntungan. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku,
maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Beliau pun menjawab,‘Apabila engkau telah menyebut takaran, maka
takarlah’.” [HR Ibnu Majah, no. 2230. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1331). Satu Wasaq = 60 shaa’ (antara 150-180
kg].
Demikian beberapa macam pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia
dalam mencari penghidupannya. Tentunya masih banyak lagi jenis pekerjaan
yang lain, selama dibolehkan oleh syari’at. Misalnya, seperti bercocok
tanam dan sebagainya.
KESIMPULAN DAN PELAJARAN.
1. Disyariatkan bekerja dan berusaha untuk menjadi sebab-sebab datangnya
rezeki, demi menghindari perbuatan meminta-minta yang dilarang, kecuali
dalam kondisi yang amat terpaksa [5].
2. Terdapat keutamaan bagi orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
3. Melakukan pekerjaan apa pun yang dihalalkan, tidak menurunkan
martabat dan harga diri seseorang, bahkan justeru merupakan kemuliaan
dan keutamaan. Karena para nabi pun bekerja mencari penghidupan.
4. Dibolehkan bagi wanita bekerja dan berwirausaha selama tidak
melanggar larangan-larangan syari’at, seperti bercampur baur dengan kaum
lelaki yang bukan mahram dalam pekerjaannya.
5. Bila seseorang telah dibukakan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari suatu jalan pekerjaan atau tempat, janganlah beralih kepada
pekerjaan atau tempat lain yang belum jelas hasilnya, sampai Allah
menutup baginya jalan yang pertama yang mengharuskannya mencari jalan
lain.
6. Anjuran mengadakan aktifitas usaha pada awal siang (pagi hari), karena itu merupakan waktu yang didapati keberkahan Allah.
7. Imam Al Qurthubi berkata: Telah berkata kepadaku sebagian masyayikh
(gugu-guru kaum sufi) pada masa sekarang dalam suatu perbincangan,
”Sesungguhnya para nabi diutus untuk mengajarkan sebab-sebab bagi
orang-orang yang lemah,” maka saya jawab,”Perkataan ini tidak ada
sumbernya, melainkan dari orang-orang yang jahil, dungu dan bodoh, atau
dari seorang yang mencela Al Kitab dan As Sunnah yang mulia, padahal
Allah mengabarkan dalam kitabNya tentang orang-orang pilihan, para nabi
dan rasulNya (bahwa mereka) mengambil sebab-sebab dan (bekerja dengan)
keahlian mereka. Maka Allah berkata dan perkataanNya adalah haq (benar):
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu..” [Al Anbiya’: 80].
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ …
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan : 20].
Para ulama mengatakan, maksudnya ialah, mereka berniaga dan memiliki
keahlian (berwira usaha). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengatakan, ‘Telah dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku (dari
rampasan perang).’ Allah berfirman:
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالاً طَيِّباً
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik …” [Al Anfal : 69].
Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu berniaga, memiliki keahliaan
(berwira usaha), mengusahakan (memutar) harta mereka dan memerangi
orang-orang kafir yang menyelisihi mereka. (Maka) apakah kamu memandang,
bahwa mereka itu orang-orang yang lemah, bahkan –demi Allah- mereka itu
orang-orang yang kuat, dan generasi yang shalih setelah mereka
mengikuti teladan mereka. Dalam jalan mereka terdapat petunjuk dan
pelajaran”. Lihat Tafsir Al Qurthubi (13/14).
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan ini dalam Tafsir Al Qurthubi (14/266-267).
[2]. Syarah Shahih Muslim (15/135).
[3]. Lihat Tafsir At Thabari (16/154-155).
[4]. Makna (dari tangan ke tangan), yakni masing-masing langsung
memegang dan membawa barang hasil penukarannya. Dan (dengan nasi’ah),
yakni dengan tempo dan masing-masing atau salah satu pihak tidak
langsung memegang dan memperoleh barang hasil penukarannya. Contoh:
seseorang mengatakan kepada yang lain “Saya tukar emas saya seberat
sekian dengan perakmu seberat sekian, tapi bulan depan” atau “tapi saya
ambil perakmu sekarang dan kamu ambil emas saya sebulan lagi”.
[5]. Lihat hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Muslim 1044, Abu Dawud no. 1640, An Nasaa-i no. 2579 dan Ahmad 5/60;
hadits Abdullah bin Amr z yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no.1634, At
Tirmidzi no. 652 dan Ahmad 2/164 dan192; hadits Abdullah bin Umar
Radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al Bukhari no. 1405 dan
Muslim no. 1040; hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma yang
diriwayatkan oleh Muslim no. 1041. Lihat Ushul Al Manhaj Al Islami, oleh
Dr. Abdurrahman Al Ubayyid, hlm. 339.
Sobekan 4.
Pekerjaan apakah yang paling baik dan
paling mulia bagi seorang muslim? Apakah berdagang lebih utama dari
lainnya? Ataukah pekerjaan terbaik tergantung dari keadaan tiap
individu?
Melalui empat hadits shahih ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkannya kepada kita.
Dari Sa’id bin Umair dari pamannya, dia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Wahai
Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?” Beliau bersabda,
“Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual
beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad 4: 141, hasan lighoirihi)
Dari Khalih, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الْكَسْبِ فَقَالَ بَيْعٌ مَبْرُورٌ وَعَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab, “perniagaan yang baik dan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri” (HR. Al Bazzar dan Thabrani dalam Al Mu’jam Kabir; shahih lighairihi)
Dari Ibnu Umar, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ
بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perniagaan yang baik.” (HR. Thabrani dalam Al Mu’jam Kabir; shahih)
Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata,
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang baik.” (HR. Ahmad dan Al Bazzar; shahih lighairihi)
Dari keempat hadits diatas, kita dapat memetik pelajaran penting
bahwa dahulu para sahabat tidak bertanya manakah pekerjaan yang paling
menguntungkan. Namun yang mereka tanyakan adalah manakah yang paling
thoyyib atau diberkahi. Sehingga dari sini kita dapat memahami bahwa
tujuan dari mencari rizki adalah untuk mencari yang paling berkah, bukan
mencari manakah yang menghasilkan paling banyak. Karena penghasilan
yang banyak belum tentu barokah.
Dari keempat hadits tersebut, meskipun kadang Rasulullah ditanya dengan istilah “pekerjaan yang paling baik (thoyyib)” dan kadang ditanya dengan istilah “pekerjaan yang paling utama (afdhol)”, ternyata jawaban beliau hampir sama. Yakni pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan perniagaan yang baik.
Pekerjaan dengan Tangan Sendiri
Ada dua mata pencaharian yang
dikatakan paling diberkahi berdasar hadits diatas. Yang pertama adalah
pekerjaan dengan tangan sendiri. Hal ini dikuatkan pula dalam hadits
yang lain,
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا
مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ –
عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari
makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena
Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu bekerja pula dengan hasil kerja keras
tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072).
Pekerjaan dengan tangan sendiri maksudnya adalah pekerjaan yang
dilakukan seseorang tanpa meminta-minta, seperti bercocok tanam
(petani), tukang kayu, pandai besi, guru, penjahit, dokter, bidan,
montir, ataupun pekerjaan lainnya.
Perniagaan / Jual Beli yang Baik
Mata pencaharian kedua yang terbaik adalah jual beli yang baik
(diberkahi). Perniagaan yang baik / mabrur maksudnya adalah jual beli
yang memenuhi syarat dan rukun jual beli, dibangun di atas kejujuran,
terlepas dari jual beli yang bermasalah, serta bersih dari unsur
penipuan dan kecurangan, baik kecurangan timbangan maupun kecurangan
dengan menyembunyikan cacatnya barang yang dijual.
Lalu Manakah Pekerjaan yang Terbaik?
Para ulama berbeda pendapat tentang pekerjaan duniawi yang paling
utama. Sebagian mereka mengatakan yang utama adalah bercocok tanam
(bertani) karena didalamnya terdapat tawakkal yang tinggi, sebagian yang
lain mengatakan perdagangan, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa
yang utama adalah pekerjaan seseorang dengan tangan sendiri berupa
produksi maupun keahlian yang lain.
Dan yang paling baik untuk dikatakan
dalam pembahasan ini, bahwa sesunguhnya pekerjaan yang paling utama
adalah yang paling cocok dengan kondisinya masing-masing atau sesuai
keahliannya.
Jadi, dalam Islam, pekerjaan apapun adalah baik. Yang terpenting
adalah halal serta bebas dari pelanggaran syari’at. Dan yang paling baik
tentunya pekerjaan yang paling banyak memberikan kemanfaatan untuk
orang lain, ditujukan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah,
menyambung silaturahim, dan menjaga kehormatan diri untuk tidak
meminta-minta, maka yang seperti ini lebih utama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersemangatlah melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan meminta tolonglah pada Allah, serta janganlah engkau malas” (HR. Muslim no. 2664).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس
“Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Wallahu a’lam bishawab..
Sobekan 5.
Hampir sebagian besar sarjana di negeri ini harus menggadaikan
idealismenya (khususnya para aktivis Islam) demi sesuap nasi. Banyak
pekerjaan yang secara terpaksa diterimanya tanpa memperhatikan
keberkahan pekerjaannya, bisa juga kehalalannya. Beberapa teman saya
yang dahulu pernah bersama-sama berjuang dalam dakwah kampus pun
akhirnya harus bekerja pada bank konvensional yang mengandung unsur
riba (bunga bank).
Entah karena memang terpaksa atau
memiliki pandangan lain, namun bagi saya bekerja pada institusi yang
masih bermain riba (yang diharamkan di dalam Al Qur’an) merupakan
pekerjaan yang harus dihindari. Ilmu pengetahuan secara empiris sudah
membuktikan kerusakan yang timbul akibat ekonomi riba tersebut. Maka,
meski berpandangan sebagai pekerjaan yang halal, kebarokahan pekerjaan
tersebut masih dipertanyakan.
Ingat, bukan saja hanya kehalalan pekerjaan, namun bagaimana kebarokahannnya. Atau bisa di istilahkan halal tetapi juga
toyyib.
Kebarokahan suatu pekerjaan dapat dinilai dari besarnya manfaat yang
diberikan oleh perusahaan kepada konsumennya. Jika bekerja pada
perusahaan seperti pembuat minuman keras atau rokok barang kali, jelas
tidak ada nilai kebarokahan di situ (malah tidak halal). Dikarenakan
produk yang dibuatnya hanya membuat kerusakan bagi tubuh si konsumen.
Lalu,
bagaimana menilai perusahaan tempat kita bekerja barokah atau tidak?
Perlu dilihat, apakah produk yang dihasilkan di perusahaan tempat kita
bekerja dapat memberikan manfaat yang baik atau justru menimbulkan
kerusakan. Memang penilaiannya ini sangat subyektif. Dan tergantung pada
idealisme atau pemahaman agamanya (bukan berati pemahaman agama saya
bagus, namun hidup dalam kebaikan yang ingin terus saya cari, dengan
belajar dari realitas).
Contohnya saja, ketika bekerja di
industri kendaraan bermotor. Memang, produk yang dihasilkan dapat
memberikan maanfaat kepada pembeli. Namun disatu sisi, paham
kapitalisme yang merasuk pada pebisnis kendaraan bermotor menciptakan
persaingan untuk berlomba-lomba menjual produknya sebanyak mungkin.
Bahkan mampu menipu konsumen dengan iklan-iklan yang berlebihan.
Sehingga berdampak pada kemacetan lalu-lintas.
Tidak hanya
itu, polusi udara membengkak, alam pun terganggu oleh ulah para
pebisnis kendaraan bermotor ini. Maka, bisakah kita menilai bekerja
pada industri kendaran bermotor dinilai sebagai pekerjaan yang halal
namun tidak barokah? Memang agak sedikit dilema untuk menjawabnya. Dan
ini kembali kepada individu masing-masing karena sifatnya yang
subyektif dan tergantung pada idealisme yang dimiliki.
Tidak
sekedar menilai dari sisi manfaat, namun orientasi dari perusahaan
tempat kita bekerja pun bisa menjadi penilaian. Perusahaan yang sangat
dan sangat berorientasi kapitalis, atau mengharapkan keuntungan yang
sebesar-besarnya untuk sang pemilik, justru sangat berdampat signifikan
pada ketidakbarokahan suatu pekerjaan. Sebab, orientasi tersebut sangat
berkorelasi dengan timbulnya perilaku buruk terhadap unsur pekerjaan.
Mereka yang bekerja pada institusi yang sangat kapitalis bisa
dimungkinkan dalam menciptakan produknya tidak memperhatikan maanfaat
atau dapat berdampak buruk pada konsumen. Karena yang penting
income-nya besar dengan berbagai cara (entah halal atau tidak).
Kalau
begitu bukankah yang salah hanya pemimpin atau pemilik perusahaan
saja? Tidak. Semuan unsur yang ada di dalam sebuah perusahaan saling
bersatu dalam menjalankan roda perusahaan, meski hanya sebagai
cleaning service. Maka,
jika seorang karyawan bekerja pada perusahaan yang membuat produk yang
haram (atau tidak barokah) tetap saja pekerjaan tersebut dapat dinilai
haram. Selain kerjanya ikut berkontribusi terhadap perkembangan usaha
perusahan, ia juga akan mendapat gaji dari hasil keuntungan produk
haram tersebut.
Dari ketidakhalalan atau
ketidakbarokahan pekerjaan kita itulah akan berdampak pada perilaku
kita. Saya sangat meyakini apabila penghasilan untuk konsumsi
sehari-hari dari hasil gaji yang kita makan sangat mempengaruhi
perilaku kita. Bahkan perilaku anak-anak kita nanti. Semakin tidak
halalnya pendapatan yang dimakan, semakin memberikan efek keburukan
perilaku yang memakannya. Meski secara ilmiah belum bisa membuktikan
penyataan saya itu, namun secara empiris terlihat bagaimana kerusakan
seseorang, sebuah keluarga dan kebobrokan seorang anak dilihat dari
perilaku orang tuannya. Perilaku orang tua bisa dimungkinkan dari cara
ia mendapat penghasilan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya (meski
ada juga faktor lain). Semakin kita menjaga kehalalan makanan dan
penghasilan, akan berkorelasi positif terhadap usaha kita untuk menjaga
perilaku dari sikap-sikap amoral masyarakat.
Perlulah
kiranya kita sebagai individu memperhatikan kehalalan makanan kita
mulai dari cara berpenghasilan sebagai upaya merubah dari diri kita,
keluarga dan anak-anak kita nanti. Sebab, kondisi kerusakan sosial yang
terjadi saat ini turut disumbangkan oleh rakyatnya yang masih belum
memperhatikan kebarokahan penghasilannya. Sehingga menimbulkan perilaku
amoral yang merusak tataran sosial masyarakat.
Perubahan
sosial harus dimulai dari diri kita sendiri. Kemudian perbaiki keluarga
kita mulai dari perbaikan cara memberi makannya (konsumsinya) agar
berperilaku yang baik pula. Dengan begitu, mulai dari kebaikan-kebaikan
yang dilakukan keluarga insya Allah dapat mempengaruhi
kebaikan-kebaikan masyarakat.
PERDAGANGAN
Adapun
dalam hadis, Rasulullah s.a.w. menyerukan supaya kita berdagang.
Anjuran ini garis-garis ketentuannya diperkuat dengan sabda, perbuatan
dan taqrirnya.
Dalam beberapa perkataannya yang sangat bijaksana itu kita dapat mendengarkan sebagai berikut:
"Pedagang
yang beramanat dan dapat dipercaya, akan bersama orang-orang yang mati
syahid nanti di hari kiamat." (Riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)"Pedagang
yang dapat dipercaya dan beramanat, akan bersama para Nabi,
orang-orang yang dapat dipercaya dan orang-orang yang mati syahid." (Riwayat al-Hakim dan Tarmizi dengan sanad hasan)
Kita
tidak heran kalau Rasulullah menyejajarkan kedudukan pedagang yang
dapat dipercaya dengan kedudukan seorang mujahid dan orang-orang yang
mati syahid di jalan Allah, sebab sebagaimana kita ketahui dalam
percaturan hidup, bahwa apa yang disebut jihad bukan hanya terbatas
dalam medan perang semata-mata tetapi meliputi lapangan ekonomi juga.
Seorang
pedagang dijanji suatu kedudukan yang begitu tinggi di sisi Allah
serta pahala yang besar nanti di akhirat karena perdagangan itu pada
umumnya diliputi oleh perasaan tamak dan mencari keuntungan yang besar
dengan jalan apapun. Harta dapat melahirkan harta dan suatu keuntungan
membangkitkan untuk mencapai keuntungan yang lebih banyak lagi. Justru
itu barangsiapa berdiri di atas dasar-dasar yang benar dan amanat, maka
berarti dia sebagai seorang pejuang yang mencapai kemenangan dalam
pertempuran melawan hawa nafsu. Justru itu pula dia akan memperoleh
kedudukan sebagai mujahidin.
Urusan dagang sering
menenggelamkan orang dalam angka dan menghitung-hitung modal dan
keuntungan, sehingga di zaman Nabi pernah terjadi suatu peristiwa ada
kafilah yang membawa perdagangan datang, padahal Nabi sedang berkhutbah
sehingga para hadirin yang sedang mendengarkan khutbah itu menjadi
kacau dan akhirnya mereka bubar menuju kepada kafilah tersebut.
Waktu itulah kemudian turun ayat yang berbunyi sebagai berikut:
"Apabila
mereka melihat suatu perdagangan atau bunyi-bunyian, mereka lari ke
tempat tersebut dan engkau ditinggalkan berdiri. Oleh karena itu
katakanlah (kepada mereka) bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik
daripada bunyi-bunyian dan perdagangan itu dan Allah sebaik-baik Zat
yang memberi rezeki." (al-Jumu'ah: 11)
Oleh
karenanya, barangsiapa yang mampu bertahan pada prinsip ini, disertai
dengan iman yang kuat, jiwanya penuh taqwa kepada Allah dan lidahnya
komat-kamit berzikrullah, maka layak dia akan bersama orang-orang yang
telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin dan
syuhada'.
Dari fi'liyah (perbuatan) Rasulullah sendiri
kiranya cukup bukti bagi kita untuk mengetahui sampai di mana kedudukan
perdagangan itu, bahwa di samping beliau sangat memperhatikan
segi-segi mental spiritual sehingga didirikannya masjid di Madinah demi
untuk bertaqwa dan mencari keridhaan Allah dengan tujuan sebagai jami'
tempat beribadah, institut, lembaga da'wah dan pusat pemerintahan,
maka Rasulullah memperhatikan pula segi-segi perekonomian. Untuk itu
maka didirikannya pasar Islam yang langsung berorientasi pada syariat
Islam, bukan pasar yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi seperti halnya
pasar Qainuqa' dulu.
Pasar Islam ini langsung diawasi
oleh Rasulullah sendiri. Beliau sendiri yang mentertibkan
subjek-subjeknya dan beliau pula yang langsung mengurus dengan memberi
bimbingan-bimbingan dan pengarahan-pengarahan. Sehingga dengan demikian
tidak ada penipuan, pengurangan timbangan, penimbunan, cukong-cukong
dan lain-lain yang insya Allah hadis-hadis yang menerangkan hal itu
akan kami tuturkan di bab Mu'amalat nanti dalam fasal halal dan haram
tentang kehidupan secara umum bagi setiap muslim.
Dalam
sejarah perjalanan para sahabat Nabi, kita dapati juga, bahwa di antara
mereka itu ada yang bekerja sebagai pedagang, pertukangan, petani dan
sebagainya.
Rasulullah berada di tengah-tengah mereka di mana
ayat-ayat al-Quran itu selalu turun kepadanya, beliau berbicara kepada
mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat Jibril senantiasa datang
kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah. Semua sahabatnya mencintai
beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin meninggalkan
beliau walaupun hanya sekejap mata.
Oleh karena itu, maka
kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti apa yang
dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang
berusaha mencari pencaharian dan perusahaan. Dan yang tidak tahu tentang
ajaran Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada
rekan-rekannya yang lain. Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang
mengetahui supaya menyampaikan kepada yang tidak tahu.
Sahabat
Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada
umumnya ahli dalam perdagangan dan menempa dalam pasar.
Misalnya
Abdurrahman bin 'Auf seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya
Saad bin ar-Rabi' salah seorang Anshar separuh kekayaan dan rumahnya
serta disuruhnya memilih dari salah seorang isterinya supaya dapat
melindungi kehormatan kawannya itu. Abdurrahman kemudian berkata kepada
Saad: Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap hartamu dan
isterimu, saya tidak perlu kepadanya.
Selanjutnya kata
Abdurrahman: Apakah di sini ada pasar yang bisa dipakai berdagang?
Jawab Saad: Ya ada, yaitu pasar Bani Qainuqa'. Maka besok paginya
Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju dan samin. Dia jual-beli di
sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi seorang pedagang
muslim yang kayaraya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih
bertumpuk-tumpuk.
Abubakar juga bekerja sebagai pedagang,
sehingga pada waktu akan dilantik sebagai khalifah beliau sedang
bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan lain-lain.
PERDAGANGAN YANG DILARANG
Islam
pada prinsipnya tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-unsur
kezaliman, penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang
dilarang oleh Islam. Misalnya memperdagangkan arak, babi, narkotik,
berhala, patung dan sebagainya yang sudah jelas oleh Islam diharamkan,
baik memakannya, mengerjakannya atau memanfaatkannya.
Semua
pekerjaan yang diperoleh dengan jalan haram adalah suatu dosa. Dan
setiap daging yang tumbuh dari dosa (haram), maka nerakalah tempatnya.
Orang yang memperdagangkan barang-barang haram ini tidak dapat
diselamatkan karena kebenaran dan kejujurannya. Sebab pokok
perdagangannya itu sendiri sudah mungkar yang ditentang dan tidak
dibenarkan oleh Islam dengan jalan apapun.
Ini tidak
termasuk orang yang memperdagangkan emas dan sutera, karena kedua bahan
tersebut halal buat orang-orang perempuan. Justru itu mereka ini kelak
di hari kiamat tidak akan dibangkitkan dalam golongan pendurhaka yang
ditempatkan di neraka Jahim.
Pada suatu hari Rasulullah s.a.w.
keluar ke tempat sembahyang, tiba-tiba dilihatnya banyak manusia yang
sedang berjual-beli. Kemudian Rasulullah memanggil mereka: Hai para
pedagang! ... Mereka pun lantas menjawab dan mengangkat kepala dan
pandangannya. Maka kata Rasulullah:
"Sesungguhnya
pedagang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan sebagai pendurhaka,
kecuali orang yang takut kepada Allah, baik dan jujur." (Riwayat
Tarmizi, Ibnu Majah dan Hakim. Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)Dari
Watsilah bin al-Asqa' ia berkata: "Rasulullah pernah keluar menuju
kami --sedang kami adalah golongan pedagang-- maka kata beliau: 'Hai
para pedagang, hati-hati kamu jangan sampai berdusta.'" (Riwayat Thabarani)
Untuk
itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia
berdusta, karena dusta itu merupakan bahaya (lampu merah) bagi pedagang.
Dan dusta itu sendiri dapat membawa kepada perbuatan jahat, sedang
kejahatan itu dapat membawa kepada neraka.
Di samping itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muliammad s.a.w. pernah bersabda:
"Tiga
golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat
dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih,
salah satu di antaranya ialah: Orang yang menyerahkan barang
dagangannya (kepada pembeli) karena sumpah dusta." (Riwayat Muslim)"Dari
Abu Said ia berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor
kambing, kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu
jual dengan tiga dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi
tiba-tiba dia jual dengan tiga dirham juga. Saya utarakan hal itu
kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah menjual akhiratnya dengan
dunianya." (Riwayat Ibnu Hibban)
Di samping itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat keluar dari lingkungan umat Islam.
Hindari
pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan
takaran itu membawa celaka, seperti firman Allah: Wailul lil
muthaffifin (celakalah orang-orang yang mengurangi takaran).
Dan hindari pulalah dari penimbunan, sehingga Allah dan RasulNya tidak akan membiarkan dia begitu saja.
Terakhir, hindarilah perbuatan riba. Karena sesungguhnya Allah akan menghancurkannya.
Seperti tersebut dalam hadis yang mengatakan:
"Satu
dirham uang riba dimakan oleh seseorang, sedangkan dia tahu (bahwa
uang tersebut adalah uang riba), akan lebih berat (siksaannya) daripada
tigapuluh enam kali berzina."37 (R iwayat Ahmad)
Penjelasan satu persatu persoalannya ini, insya Allah akan kami terangkan nanti di bab Mu'amalat.
BEKERJA SEBAGAI PEGAWAI/INSTANSI
Seorang
muslim boleh saja bekerja mencari rezeki dengan jalan menjadi pegawai,
baik itu pegawai negeri atau swasta, selama dia mampu memikul
pekerjaannya dan dapat menunaikan kewajiban. Tetapi di samping itu
seorang muslim tidak boleh mencalonkan dirinya untuk suatu pekerjaan
yang bukan ahlinya, lebih-lebih menduduki jabatan hakim.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Siallah
Amir, siallah kepala dan siallah kasir. Sungguh ada beberapa kaum yang
menginginkan kulit-kulitnya itu bergantung di bintang yang tinggi,
kemudian mereka akan diulurkan antara langit dan bumi, karena
sesungguhnya mereka itu tidak pernah menguasai suatu pekerjaan."
(Riwayat Ibnu Hibban dan al-Hakim, ia sahkan sanadnya)
Abu Dzar
pernah juga meminta kepada Nabi untuk diberi suatu jabatan, maka oleh
Nabi ditepuknya pundak Abu Dzar sambil beliau bersabda:
"Hai
Abu Dzar! Engkau orang lemah, kekuasaan adalah suatu amanat dan kelak
di hari kiamat akan menyusahkan dan menyesalkan, kecuali orang yang
dapat menguasainya karena haknya dan melaksanakan apa yang menjadi
tugasnya." (Riwayat Muslim)
Dan sabda Rasulullah juga tentang masalah hakim sebagai berikut:
"Hakim
itu ada tiga macam: Satu di sorga dan dua di neraka. Yang di sorga,
yaitu seorang hakim yang tahu kebenaran dan ia menghukum dengan
kebenaran itu. (2) Seorang laki-laki yang tahu kebenaran tetapi dia
menyimpang dari kebenaran itu, maka dia berada di neraka. (3) Seorang
laki-laki yang menghukum manusia dengan membabi-buta (bodoh), maka dia
di neraka." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Ibnu Majah)
Jadi
sebaiknya seorang muslim tidak perlu ambisi kepada kedudukan-kedudukan
yang besar dan berusaha di belakang kedudukan itu sekalipun dia ada
kemampuan. Sebab kalau kedudukannya itu dijadikan pelindung, maka
kedudukannya itu sendiri akan menghambat dia. Dan barangsiapa
mengarahkan setiap tujuannya itu untuk show di permukaan bumi ini, maka
dia tidak akan peroleh taufik dari lanqit.
Telah bersabada Rasulullah s.a.w. kepadaku:
"Hai
Abdurrahman! Jangan kamu minta untuk menjadi kepala, karena kalau kamu
diberinya padahal kamu tidak minta, maka kamu akan diberi pertolongan,
tetapi jika kamu diberinya itu lantaran minta, maka kamu akan
dibebaninya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)"Dari Anas, bahwa
Rasulullah s.a.w. bersabda: Barangsiapa mencari penyelesaian suatu hukum
tetapi dia minta supaya dibela, maka hal itu akan dibebankan kepada
dirinya. Dan barangsiapa dipaksakannya, maka Allah akan mengutus
Malaikat supaya meluruskannya." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Ini,
kalau dia tidak tahu, bahwa orang lain tidak akan mampu mengatasi
kekosongan itu dan apabila dia tidak tampil niscaya kemaslahatan akan
berantakan dan retak tali persoalan. Kalau dia tahu hanya dialah yang
mampu, maka dia boleh bersikap seperti apa yang dikisahkan al-Quran
kepada kita tentang Nabiullah Yusuf a.s. dimana ia berkata kepada
tuannya:
"Jadikanlah aku untuk mengurus perbendaharaan
(gudang) bumi, karena sesungguhnya aku orang yang sangat menjaga dan
mengetahui." (Yusuf: 55)
Demikianlah tata-tertib Islam dalam mengatur masalah mencari pekerjaan-pekerjaan yang bersifat politis dan sebagainya.
SYSTEM KEPEGAWAIAN YG DIHARAMKAN
Diperbolehkannya
bekerja sebagai pegawai seperti yang kami katakan di atas, diikat
dengan suatu syarat tidak menjadi pegawai yang membahayakan kaum
muslimin. Oleh karena itu seorang muslim tidak halal bekerja sebagai
pegawai atau prajurit dalam ketenteraan yang memerangi kaum muslimin
atau bekerja sebagai pegawai dalam suatu pabrik yang memproduksi senjata
untuk memerangi kaum muslimin. Dan tidak boleh seorang muslim bekerja
sebagai pegawai suatu lembaga yang melawan Islam dan memerangi umatnya.
Termasuk juga pegawai yang membantu kepada perbuatan zalim dan haram,
seperti pekerjaan yang meribakan uang, tempat arak, tempat dansa atau
di tempat-tempat permainan yang kosong dan sebagainya.
Mereka
ini semua tidak dapat dibebaskan dari dosa. Tidak berarti mereka tidak
bersekutu dan tidak berbuat haram. Sebab seperti prinsip-prinsip yang
telah kami kemukakan sebelumnya, bahwa menolong perbuatan haram berarti
haram. Justru itulah Rasulullah s.a.w. melaknat juru tulis riba dan
dua orang saksinya sebagaimana dilaknatnya orang yang makan riba.
Pembuat dan pelayan yang menuangkan arak dilaknat seperti dilaknat
orang yang minum.
Ini semua berlaku dalam keadaan yang
tidak terpaksa (normal) dimana seorang muslim harus memasukinya demi
mencari rezeki. Kalau ternyata dalam keadaan yang memaksa, maka dapat
dinilai menurut keperluannya itu, yaitu menjadi makruh dengan syarat
dia harus tetap berusaha untuk mencari pekerjaan lain yang halal dan
jauh dari dosadosa.
Setiap muslim harus menjaga dirinya dari
hal-hal yang masih syubhat, dimana syubhat itu dapat menipiskan agama
dan melemahkan keyakinan, betapapun besarnya gaji dan berharganya
pekerjaan tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu, beralih kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." (Riwayat Ahmad. Tarmizi, Nasa'i, Ibnu Hibban dalam sahihnya dan Hakim, Tarmizi berkata: hadis ini hasan sahih).
Dan sabdanya pula:
"Seseorang
tidak akan mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang taqwa) sehingga
ia meninggalkan sesuatu yang mubah karena takut kepada berbuat sesuatu
yang dilarang." (Riwayat Tarmizi)
PEDOMAN DALAM BEKERJA
Pedoman
secara umum tentang masalah kerja, yaitu Islam tidak membolehkan
pengikut-pengikutnya untuk bekerja mencari uang sesuka hatinya dan
dengan jalan apapun yang dimaksud. Tetapi Islam memberikan kepada mereka
suatu garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam
mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan juga kepada masalah
kemaslahatan umum.
Garis pemisah ini berdiri di atas
landasan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mengatakan: "Bahwa semua
jalan untuk berusaha mencari uang yang tidak menghasilkan manfaat
kepada seseorang kecuali dengan menjatuhkan orang lain, adalah tidak
dibenarkan. Dan semua jalan yang saling mendatangkan manfaat antara
individu-individu dengan saling rela-merelakan dan adil, adalah
dibenarkan."
Prinsip ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya:
"Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu memakan harta-harta saudaramu
dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang
yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh
diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha belas-kasih kepadamu. Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan sikap permusuhan dan penganiayaan,
maka kelak akan Kami masukkan dia ke dalam api neraka." (an-Nisa':29-30)
Ayat ini memberikan syarat boleh dilangsungkannya perdagangan dengan dua hal:
- Perdagangan itu harus dilakukan atas dasar saling rela antara kedua belah pihak.
- Tidak boleh bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak lain.
Syarat kedua ini dapat kita ambil dari kata-kata dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu.
Perkataan ini ditafsirkan oleh ahli-ahli tafsir dalam dua pengertian yang masing-masing sesuai dengan proporsinya:
Arti pertama: Satu sama lain tidak boleh bunuh membunuh.
Arti kedua: Kamu tidak boleh membunuh diri diri kamu dengan tangan-tangan kamu sendiri.
Walhasil
ayat ini memberikan pengertian, bahwa setiap orang tidak boleh
merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri (vested interest).
Sebab hal demikian, seolah-olah dia menghisap darahnya dan membuka jalan
kehancuran untuk dirinya sendiri. Misalnya mencuri, menyuap, berjudi,
menipu, mengaburkan, mengelabui, riba dan lain-lain pekerjaan yang
diperoleh dengan jalan yang tidak dibenarkan.
Tetapi apabila
sebagian itu diperoleh atas dasar saling suka sama suka, maka syarat
yang terpenting jangan kamu membunuh diri kamu itu tidak ada.
Sebagai
akhir, jangan lupa untuk terus berdoa atau memasukan doa hari-hari
kita untuk menjaga rezeki dari keharaman dan ketidakbarokahan. Kalau
kita merasa pekerjaan kita saat ini tidak barokah, insya Allah doa-doa
tersebut akan terjawab tanpa terduga (pengalaman saya, Insya Allah).
wallahu`Alam
Oleh Von Edison Alouisci