Sobekan 1.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah dimintai pendapat
'pekerjaan apa yang paling baik?', beliau menjawab: Pekerjaan seseorang
dengan tangan-nya sendiri, serta setiap jual-beli yang bersih. Hadits
mulia ini diriwayatkan Al Bazzar, dari riwayat Rifa'ah bin Rafi' RadlialLahu 'anhum dan Al Hakim mengatakan hadits ini shahih.
Pekerjaan apakah yang paling baik dan
paling mulia? Melalui empat hadits shahih ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menerangkannya kepada kita.
Dari Sa’id bin Umair dari pamannya, dia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab,
“Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua pekerjaan yang
baik.” (HR. Baihaqi dan Al Hakim; shahih lighairihi)
Dari Khalih, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الْكَسْبِ فَقَالَ بَيْعٌ مَبْرُورٌ وَعَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ditanya tentang pekerjaan yang paling utama. Beliau menjawab,
“perniagaan yang baik dan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri” (HR. Al Bazzar dan Thabrani dalam Al Mu’jam Kabir; shahih lighairihi)
Dari Ibnu Umar, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,
“Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perniagaan yang
baik.” (HR. Thabrani dalam Al Mu’jam Kabir; shahih)
Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata,
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah ditanya, “Wahai
Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab,
“Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang
baik.” (HR. Ahmad dan Al Bazzar; shahih lighairihi)
Dari keempat hadits tersebut, meskipun
kadang Rasulullah ditanya dengan istilah “pekerjaan yang paling baik”
dan kadang ditanya dengan istilah “pekerjaan yang paling utama”,
ternyata jawaban beliau hampir sama. Yakni pekerjaan seseorang dengan
tangannya sendiri dan perniagaan yang baik.
Pekerjaan dengan tangan sendiri
maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang tanpa meminta-minta.
Pekerjaan itu bisa berupa profesi sebagai tukang batu, tukang kayu,
pandai besi, maupun pekerjaan lainnya. Dalam hadits yang lain
dicontohkan pekerjaan seseorang yang mencari kayu bakar. Profesi dokter,
arsitek, dan sejenisnya di zaman sekarang juga termasuk dalam hadits
ini.
Sedangkan perniagaan yang baik maksudnya
adalah perniagaan atau perdagangan yang bersih dari penipuan dan
kecurangan. Baik kecurangan timbangan maupun kecurangan dengan
menyembunyikan cacatnya barang yang dijual.
Jadi, dalam Islam, pekerjaan apapun
baik. Pekerjaan apapun bisa menjadi pekerjaan paling baik. Asalkan halal
dan bukan meminta-minta. Baik menjadi karyawan, profesional, pebisnis
maupun pengusaha, semua punya peluang yang sama. Masya Allah… indahnya…
[Muchlisin BK/bersamadakwah]
*Maraji’: Shahih At-Targhib wa At-Tarhib dan Maktabah Syamilah
Sobekan 2.
Pekerjaan Yang Paling Mulia Adalah Bertani
Hadits ini bisa ditemui dalam kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al
Asqalani, yang kebetulan jadi objek pengajian para santri.
Sahabat nabi yang bernama Rifa'ah putra-nya bapak Rafi' ini (semoga
Allah meridhai-Nya), beliau juga masyhur (populer) sebagai saksi dan
ikut turut andil dalam perang Badar, serta perang Assiffin dan Jamal di
masa Sayyidina Ali KaramalLahu wajhah. Dan beliau meninggal dunia di
masa kekhalifahan Sahabat Mu'awiyah RadhialLahu 'anh.
Dari generasi ke-generasi, hadits mulia ini dikaji, mulai dari perawi
hadits, sampai para Ulama yang menyampaikan kepada santri-nya, kemudian
sambung berantai sampai santri-santri pesantren sekarang.
Di antaranya, Al Mawardi ketika menyampaikan, kemudian mengomentari
hadits ini. 'pokok dari pekerjaan mulia adalah (az-zur') menanam,
(at-tijarah) berdagang, dan (as-shana'ah) berkreasi. Sedangkan pendapat
yang masyhur (populer) dari mazhab Syafi'iyah, pekerjaan yang paling
baik adalah berdagang. tentunya berdagang yang bersih dari tipu-menipu,
seperti yang dicontohkan baginda Nabi Muhammad Shallahu 'alaihi
wasallam.
Imam Nawawi rahimahulLah, ketika menukil pendapat Al Mawardi di atas
menambahkan, menurut saya pendapat yang arjah (lebih kuat) adalah
az-zur' (bertanam), karena dalam bertanam selain banyak bertawakal juga
memberi kemanfaatan pada orang lain, juga hewan-hewan, serta
burung-burung. Dan juga yang dilakukan Nabiyullah Dawud 'alahissalam
yang makan dari hasil tangan-nya sendiri. [Subulussalam Sarh Bulughul
Maram, Bab Buyu']
Keterangan lebih baik di sini dikategorikan lebih berkah, tentunya dengan arti al-barakah adalah ziyadatu al khair' yang berarti menambah kebaikan.
Semoga manfaat.
Wallahu a'lam
Sobekan 3.
PARA NABI DAN SALAFUSH SHALIH JUGA BEKERJA
Oleh
Ustadz Abu Humaid ‘Arif Syarifuddin
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia ke dunia ini, Dia juga memberikan ilham melalui fitrah dan akal mereka untuk mencari sebab-sebab memperoleh rezeki yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan berbagai sarana guna mempertahankan kehidupan manusia di dunia ini, yaitu bekerja mencari beragam penghidupan yang dibolehkan syari’at.
Tuntutan fitrah ini, tidak hanya berlaku pada umumnya manusia, melainkan berlaku pula atas manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan para nabi dan rasul Allah, termasuk pula rasul yang paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang mengikutinya dari para salafush shalih dari generasi sahabat maupun setelahnya.
Berikut ini kami nukilkan beberapa ayat, hadits maupun atsar (riwayat tentang sahabat atau tabi’in) yang mengisyaratkan tentang hal ini. Semoga bermanfaat.
PEKERJAAN PERTUKANGAN, INDUSTRI DAN KERAJINAN TANGAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Nuh Alaihissallam:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami ..” [Hud : 37].
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nuh Alaihissallam untuk membuat bahtera (perahu besar) yang memberi isyarat tentang pekerjaan menukang dan industri. Artinya, pekerjaan tukang dan industri merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk dijadikan sebagai mata pencahariannya. Allah telah memberikan kemampuan berindustri membuat baju-baju besi kepada Nabi Daud Alaihissallam :
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ.
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)”. [Al Anbiya’ : 80].
… وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“… dan Kami telah melunakkan besi untuknya (yakni Daud); (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. [Saba’ : 10-11].
Dengan kemampuan yang Allah karuniakan itulah, Nabi Daud Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau makan dari hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja [1]. Hal ini telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya sendiri”. [HR Bukhari no. 1967 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ .
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri”. [HR Bukhari no. 1966 dari Al Miqdam bin Ma’diyakrib Radhiyallahu ‘anhu].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan Nabi Daud Alaihissallam dalam hadits di atas, lantaran Daud Alaihissallam seorang nabi dan raja. Biasanya, para raja tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, karena telah dipenuhi oleh para pekerja dan pelayannya.
Masih tentang pekerjaan pertukangan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang Nabi Zakariya Alaihissallam :
كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .
“Zakariya Alaihissallam dulu adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim no. 2379 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Imam An Nawawi menjelaskan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak menjatuhkan kewibawaan (seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia. Dalam hadits ini (juga) terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya Alaihissallam, karena ia (bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil jerih payahnya” [2]. Oleh karena itu, Imam Muslim membawakan hadits ini dalam bab Min Fadhail Zakariya Alaihissallam [di antara keutamaan-keutamaan Zakariya Alaihissallam].
Ibnu Hajar menukil apa yang diriwayatkan Ats Tsauri dalam Tafsir-nya, dari Asy’ats dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Lukman (Al Hakim), dulu adalah seorang budak habsyi dan seorang tukang”. Lihat Fathul Bari (6/466).
Pekerjaan seperti di atas juga telah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Bahkan di kalangan wanitanya sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ أَجْعَلُ لَكَ شَيْئاً تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلاماً نَجَّاراً. قَالَ: إِنْ شِئْتِ فَعَمِلْتِ الْمِنْبَرَ
“Jabir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, tidakkah saya buatkan sesuatu untuk tempat dudukmu? Sesungguhnya saya punya budak ahli pertukangan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Jika engkau mau (melakukannya), maka engkau buatkan mimbar saja.” [HR Al Bukhari no. 438].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ: أَيُجْزِيْنِي مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ؟ ، قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: وَكَانَتْ صَنَّاعَ الْيَدَيْنِ .
“Ummu Salamah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah”. Maka Zainab –isteri Abdullah (bin Mas’ud)- berkata: “Apakah boleh aku bershadaqah suamiku yang fakir dan kemenakan-kemenakanku yang yatim, dan aku menghidupi mereka dengan ini dan itu?” Rasulullah n menjwab,”Ya, boleh.” (Perawi) berkata: “Dan ia (Zainab) adalah wanita pembuat kerajinan tangan”. [HR Ibnu Majah no. 1835. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah. Asal hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari no. 1397 dan Muslim no. 1000].
Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan tentang Zainab binti Jahsy (salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) –ketika wafatnya :
… وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةً صَنَّاعَةَ الْيَدِ، فَكَانَتْ تَدْبَغُ وَتَخْرِزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللهِ . أخرجه الحاكم (4/26) وقال: هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.
“Dan Zainab adalah wanita pengrajin tangan, ia menyamak kulit dan melobangi (serta menjahit)nya untuk dibuat khuf atau lainnya. Lalu ia bershadaqah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [HR Al Hakim 4/26 dan beliau berkata: “Ini hadits shahih sesuai syarat (standar) Muslim, tapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari maupun Muslim”]
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin Al Abrash yang menuturkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu (menetapkan) jaminan (atas) tukang.
Ia juga meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Umar bin Al Khaththab (menetapkan) jaminan atas setiap buruh (industri atau kerajinan) bila si pekerja merusakkan barang orang-orang yang menginginkannya membuat sesuatu untuk mereka dari barang tersebut. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (4/360).
Demikian pula masa setelah sahabat Radhiyallahu ‘anhum, seperti disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad ketika menjelaskan salah seorang perawi tabi’in dalam sanad berikut.
Telah bercerita kepada kami Waqi’ (ia berkata), telah bercerita kepada kami Yazid bin Abu Shalih, dan ia adalah seorang penyamak kulit, memiliki postur yang bagus, dan ia memiliki empat hadits, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Akan ada sekelompok manusia yang masuk neraka, hingga hangus menjadi arang…al hadits. Lihat Musnad Ahmad (3/183).
MENGGEMBALAKAN HEWAN TERNAK
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang Musa Alaihissallam:
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.
“Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” [Thaahaa : 18].
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Musa Alaihissallam dahulu bekerja menggembalakan kambing-kambing. Dengan bantuan tongkat di tangannya, ia menjatuhkan dedaunan dari pohon untuk memberi makan hewan gembalaannya [3]. Pekerjaan inilah yang banyak digeluti para nabi, termasuk nabi dan rasul yang paling mulia Muhammad n . Rasulullah n menceritakan dalam sabdanya :
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ . رواه البخاري.
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath.” [HR Al Bukhari no. 2143 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu . Lihat pula Shahihul Jami’ no. 5581]
Satu qirath = seperduapuluh dinar.
Demikian pula yang berlaku pada sebagian sahabatnya, seperti dalam riwayat berikut ini.
Abdullah bin Rafi’ menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,”Mengapa engkau dijuluki Abu Hurairah?” Ia balik bertanya,“Apakah engkau ingin merendahkan aku?” Aku jawab,“Tidak. Demi Allah, aku amat menghormatimu.” Ia pun berkata,“Aku dahulu menggembalakan kambing-kambing milik keluargaku. Waktu itu, aku mempunyai kucing kecil yang kuletakkan di sebuah pohon pada malam hari. Siang harinya aku bermain bersamanya, maka mereka pun menjulukiku Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil).” [HR At Tirmidzi no. 3016 dengan sanad hasan. Lihat Shahih At Tirmidzi (3/235].
BERDAGANG ATAU BERNIAGA
Aktifitas dagang atau jual beli (dengan beragam bentuknya yang dibolehkan syari’at) banyak dikerjakan oleh manusia. Para nabi juga tidak lepas dari aktifitas ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ …
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan : 20].
Dan tentang RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman :
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً
“Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” [Al Furqan : 7].
Imam Al Qurthubi berkata, “Masuk pasar dibolehkan untuk berniaga dan mencari penghidupan. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu masuk pasar untuk memenuhi hajatnya, disamping untuk mengingatkan manusia akan perintah Allah, berdakwah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan diri kepada kabilah-kabilah yang datang. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.” Lihat Tafsir al Qurthubi (13/5).
Ibnu Katsir, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”, beliau berkata: Yakni mereka (para rasul) adalah manusia. Mereka makan dan minum sebagaimana layaknya manusia yang lain, serta memasuki pasar untuk mencari penghasilan dan berniaga. Dan itu, tidaklah merugikan mereka lagi tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka. (Tidak) sebagaimana yang disangka oleh kaum musyrikin ketika mereka mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. ” Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/175).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ketika masa mudanya sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Beliau pernah berdagang ke negeri Syam dengan ditemani budak lelaki Khadijah yang bernama Maisarah, membawa barang-barang perniagaan milik Khadijah Radhiyallahu ‘anha sebelum menikahinya. Lihat Sirah Ibnu Hisyam (2/5-6). Pekerjaan inilah yang banyak digeluti oleh para sahabat, baik ketika masa jahiliyah maupun setelah Islam, terutama dari kalangan Muhajirin. Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Dan sesungghnya saudara-saudara kami kaum Muhajirin sibuk dengan urusan niaga di pasar. Sedangkan saudara-saudara kami kaum Anshar sibuk mengusahakan (memutar) harta mereka …” [HR Bukhari no. 118].
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah keluar berniaga ke Bushra (Syam) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengkhususan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mencegah Abu Bakar, yaitu untuk tidak memberikan bagiannya dari barang-barang perniagaan. Hal itu karena kekaguman dan kesukaan mereka dengan usaha niaga. Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah Abu Bakar dari memperjualbelikan barang-barang niaganya karena kecintaan, kedekatan dan pengkhususannya terhadap Abu Bakar -dan sungguh bersahabat dengannya amat mengagumkan-, karena anjuran dan kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap usaha niaga.” [HR Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 23/30. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 2929]
Shakhr bin Wada’ah Al Ghamidi menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا . وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْجَيْشاً بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلاً تَاجِراً، وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ.
“Ya, Allah. Berkahilah untuk umatku di pagi harinya.” Dan apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, Beliau mengutusnya pada awal siang (pagi hari). Dan adalah Shakhr seorang pedagang; ia mengirimkan perniagaannya dari awal siang (pagi hari), maka ia pun menjadi kaya raya dan banyak harta”. [HR Abu Dawud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, An Nasa-i dalam As Sunan Al Kubra, no. 8833, Ibnu Majah no. 2236 dan Ibnu Hibban 11/62-63. At Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan derajatnya. Dan tidak diketahui Shakhr meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits ini.” Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib, no. 1693]
Al Barra’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak), maka keduanya menjawab: “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, kami pernah berdagang. Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak). Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Jika dari tangan ke tangan (masing-masing langsung memperoleh barangnya), maka tidak mengapa. Tapi kalau dengan nasi’ah (dengan tempo dan masing-masing atau salah satu tidak memperoleh barangnya), maka tidak boleh’.”[4] [HR An Nasaa-i, no. 4576 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i].
Urwah bin Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu pernah berdagang sesuatu. Lalu Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:“Sungguh saya akan mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan akan memboikotmu,” maka Ibnu Ja’far memberitahukan hal itu kepada Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu . Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ibnu Ja’far Radhiyallahu ‘anhu : “Saya berserikat denganmu (pantner) dalam perniagaan.” Kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Sesungguhnya Ibnu Ja’far telah melakukan perniagaan begini …, maka boikotlah dia.” Tetapi Az Zubair berkata,“Saya adalah partnernya.” Maka Utsman berkata: “Bagaimana saya akan memboikot seseorang, sementara partnernya adalah Az Zubair.” [HR Al Baihaqi, 6/61 dan Asy Syafi’i dalam Al Musnad, 1/384. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1449].
Utsman bin Affan bercerita: Aku pernah menjual kurma di pasar, lalu aku mengatakan, “Aku telah menakarnya dalam wasaq-ku ini sekian, lalu aku membayar beberapa wasaq kurma dengan takaran (wasaq)nya dan aku mengambil keuntungan. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku, maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pun menjawab,‘Apabila engkau telah menyebut takaran, maka takarlah’.” [HR Ibnu Majah, no. 2230. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1331). Satu Wasaq = 60 shaa’ (antara 150-180 kg].
Demikian beberapa macam pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia dalam mencari penghidupannya. Tentunya masih banyak lagi jenis pekerjaan yang lain, selama dibolehkan oleh syari’at. Misalnya, seperti bercocok tanam dan sebagainya.
KESIMPULAN DAN PELAJARAN.
1. Disyariatkan bekerja dan berusaha untuk menjadi sebab-sebab datangnya rezeki, demi menghindari perbuatan meminta-minta yang dilarang, kecuali dalam kondisi yang amat terpaksa [5].
2. Terdapat keutamaan bagi orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
3. Melakukan pekerjaan apa pun yang dihalalkan, tidak menurunkan martabat dan harga diri seseorang, bahkan justeru merupakan kemuliaan dan keutamaan. Karena para nabi pun bekerja mencari penghidupan.
4. Dibolehkan bagi wanita bekerja dan berwirausaha selama tidak melanggar larangan-larangan syari’at, seperti bercampur baur dengan kaum lelaki yang bukan mahram dalam pekerjaannya.
5. Bila seseorang telah dibukakan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari suatu jalan pekerjaan atau tempat, janganlah beralih kepada pekerjaan atau tempat lain yang belum jelas hasilnya, sampai Allah menutup baginya jalan yang pertama yang mengharuskannya mencari jalan lain.
6. Anjuran mengadakan aktifitas usaha pada awal siang (pagi hari), karena itu merupakan waktu yang didapati keberkahan Allah.
7. Imam Al Qurthubi berkata: Telah berkata kepadaku sebagian masyayikh (gugu-guru kaum sufi) pada masa sekarang dalam suatu perbincangan, ”Sesungguhnya para nabi diutus untuk mengajarkan sebab-sebab bagi orang-orang yang lemah,” maka saya jawab,”Perkataan ini tidak ada sumbernya, melainkan dari orang-orang yang jahil, dungu dan bodoh, atau dari seorang yang mencela Al Kitab dan As Sunnah yang mulia, padahal Allah mengabarkan dalam kitabNya tentang orang-orang pilihan, para nabi dan rasulNya (bahwa mereka) mengambil sebab-sebab dan (bekerja dengan) keahlian mereka. Maka Allah berkata dan perkataanNya adalah haq (benar):
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu..” [Al Anbiya’: 80].
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ …
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan : 20].
Para ulama mengatakan, maksudnya ialah, mereka berniaga dan memiliki keahlian (berwira usaha). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, ‘Telah dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku (dari rampasan perang).’ Allah berfirman:
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالاً طَيِّباً
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik …” [Al Anfal : 69].
Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu berniaga, memiliki keahliaan (berwira usaha), mengusahakan (memutar) harta mereka dan memerangi orang-orang kafir yang menyelisihi mereka. (Maka) apakah kamu memandang, bahwa mereka itu orang-orang yang lemah, bahkan –demi Allah- mereka itu orang-orang yang kuat, dan generasi yang shalih setelah mereka mengikuti teladan mereka. Dalam jalan mereka terdapat petunjuk dan pelajaran”. Lihat Tafsir Al Qurthubi (13/14).
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan ini dalam Tafsir Al Qurthubi (14/266-267).
[2]. Syarah Shahih Muslim (15/135).
[3]. Lihat Tafsir At Thabari (16/154-155).
[4]. Makna (dari tangan ke tangan), yakni masing-masing langsung memegang dan membawa barang hasil penukarannya. Dan (dengan nasi’ah), yakni dengan tempo dan masing-masing atau salah satu pihak tidak langsung memegang dan memperoleh barang hasil penukarannya. Contoh: seseorang mengatakan kepada yang lain “Saya tukar emas saya seberat sekian dengan perakmu seberat sekian, tapi bulan depan” atau “tapi saya ambil perakmu sekarang dan kamu ambil emas saya sebulan lagi”.
[5]. Lihat hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim 1044, Abu Dawud no. 1640, An Nasaa-i no. 2579 dan Ahmad 5/60; hadits Abdullah bin Amr z yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no.1634, At Tirmidzi no. 652 dan Ahmad 2/164 dan192; hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 1040; hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1041. Lihat Ushul Al Manhaj Al Islami, oleh Dr. Abdurrahman Al Ubayyid, hlm. 339.
Sobekan 3.
PARA NABI DAN SALAFUSH SHALIH JUGA BEKERJA
Oleh
Ustadz Abu Humaid ‘Arif Syarifuddin
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia ke dunia ini, Dia juga memberikan ilham melalui fitrah dan akal mereka untuk mencari sebab-sebab memperoleh rezeki yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan berbagai sarana guna mempertahankan kehidupan manusia di dunia ini, yaitu bekerja mencari beragam penghidupan yang dibolehkan syari’at.
Tuntutan fitrah ini, tidak hanya berlaku pada umumnya manusia, melainkan berlaku pula atas manusia-manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan para nabi dan rasul Allah, termasuk pula rasul yang paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang mengikutinya dari para salafush shalih dari generasi sahabat maupun setelahnya.
Berikut ini kami nukilkan beberapa ayat, hadits maupun atsar (riwayat tentang sahabat atau tabi’in) yang mengisyaratkan tentang hal ini. Semoga bermanfaat.
PEKERJAAN PERTUKANGAN, INDUSTRI DAN KERAJINAN TANGAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Nuh Alaihissallam:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami ..” [Hud : 37].
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nuh Alaihissallam untuk membuat bahtera (perahu besar) yang memberi isyarat tentang pekerjaan menukang dan industri. Artinya, pekerjaan tukang dan industri merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia untuk dijadikan sebagai mata pencahariannya. Allah telah memberikan kemampuan berindustri membuat baju-baju besi kepada Nabi Daud Alaihissallam :
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ.
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah)”. [Al Anbiya’ : 80].
… وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ. أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“… dan Kami telah melunakkan besi untuknya (yakni Daud); (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. [Saba’ : 10-11].
Dengan kemampuan yang Allah karuniakan itulah, Nabi Daud Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau makan dari hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja [1]. Hal ini telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya sendiri”. [HR Bukhari no. 1967 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ .
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri”. [HR Bukhari no. 1966 dari Al Miqdam bin Ma’diyakrib Radhiyallahu ‘anhu].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan Nabi Daud Alaihissallam dalam hadits di atas, lantaran Daud Alaihissallam seorang nabi dan raja. Biasanya, para raja tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, karena telah dipenuhi oleh para pekerja dan pelayannya.
Masih tentang pekerjaan pertukangan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang Nabi Zakariya Alaihissallam :
كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .
“Zakariya Alaihissallam dulu adalah seorang tukang kayu”. [HR Muslim no. 2379 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
Imam An Nawawi menjelaskan: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya berindustri. Dan pekerjaan tukang tidak menjatuhkan kewibawaan (seseorang), bahkan termasuk pekerjaan mulia. Dalam hadits ini (juga) terdapat (petunjuk tentang) keutamaan Zakariya Alaihissallam, karena ia (bekerja) sebagai tukang dan makan dari hasil jerih payahnya” [2]. Oleh karena itu, Imam Muslim membawakan hadits ini dalam bab Min Fadhail Zakariya Alaihissallam [di antara keutamaan-keutamaan Zakariya Alaihissallam].
Ibnu Hajar menukil apa yang diriwayatkan Ats Tsauri dalam Tafsir-nya, dari Asy’ats dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Lukman (Al Hakim), dulu adalah seorang budak habsyi dan seorang tukang”. Lihat Fathul Bari (6/466).
Pekerjaan seperti di atas juga telah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Bahkan di kalangan wanitanya sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut.
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ أَجْعَلُ لَكَ شَيْئاً تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلاماً نَجَّاراً. قَالَ: إِنْ شِئْتِ فَعَمِلْتِ الْمِنْبَرَ
“Jabir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, bahwa ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, tidakkah saya buatkan sesuatu untuk tempat dudukmu? Sesungguhnya saya punya budak ahli pertukangan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Jika engkau mau (melakukannya), maka engkau buatkan mimbar saja.” [HR Al Bukhari no. 438].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ: أَيُجْزِيْنِي مِنَ الصَّدَقَةِ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَى زَوْجِي وَهُوَ فَقِيرٌ وَبَنِي أَخٍ لِي أَيْتَامٍ وَأَنَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ؟ ، قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: وَكَانَتْ صَنَّاعَ الْيَدَيْنِ .
“Ummu Salamah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah”. Maka Zainab –isteri Abdullah (bin Mas’ud)- berkata: “Apakah boleh aku bershadaqah suamiku yang fakir dan kemenakan-kemenakanku yang yatim, dan aku menghidupi mereka dengan ini dan itu?” Rasulullah n menjwab,”Ya, boleh.” (Perawi) berkata: “Dan ia (Zainab) adalah wanita pembuat kerajinan tangan”. [HR Ibnu Majah no. 1835. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah. Asal hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhari no. 1397 dan Muslim no. 1000].
Aisyah Radhiyallahu ‘anha menuturkan tentang Zainab binti Jahsy (salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) –ketika wafatnya :
… وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةً صَنَّاعَةَ الْيَدِ، فَكَانَتْ تَدْبَغُ وَتَخْرِزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللهِ . أخرجه الحاكم (4/26) وقال: هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.
“Dan Zainab adalah wanita pengrajin tangan, ia menyamak kulit dan melobangi (serta menjahit)nya untuk dibuat khuf atau lainnya. Lalu ia bershadaqah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [HR Al Hakim 4/26 dan beliau berkata: “Ini hadits shahih sesuai syarat (standar) Muslim, tapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari maupun Muslim”]
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaid bin Al Abrash yang menuturkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu (menetapkan) jaminan (atas) tukang.
Ia juga meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Umar bin Al Khaththab (menetapkan) jaminan atas setiap buruh (industri atau kerajinan) bila si pekerja merusakkan barang orang-orang yang menginginkannya membuat sesuatu untuk mereka dari barang tersebut. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (4/360).
Demikian pula masa setelah sahabat Radhiyallahu ‘anhum, seperti disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad ketika menjelaskan salah seorang perawi tabi’in dalam sanad berikut.
Telah bercerita kepada kami Waqi’ (ia berkata), telah bercerita kepada kami Yazid bin Abu Shalih, dan ia adalah seorang penyamak kulit, memiliki postur yang bagus, dan ia memiliki empat hadits, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Akan ada sekelompok manusia yang masuk neraka, hingga hangus menjadi arang…al hadits. Lihat Musnad Ahmad (3/183).
MENGGEMBALAKAN HEWAN TERNAK
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang Musa Alaihissallam:
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى.
“Musa berkata, “Ini adalah tongkatku. Aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” [Thaahaa : 18].
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Musa Alaihissallam dahulu bekerja menggembalakan kambing-kambing. Dengan bantuan tongkat di tangannya, ia menjatuhkan dedaunan dari pohon untuk memberi makan hewan gembalaannya [3]. Pekerjaan inilah yang banyak digeluti para nabi, termasuk nabi dan rasul yang paling mulia Muhammad n . Rasulullah n menceritakan dalam sabdanya :
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ ، فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ . رواه البخاري.
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya,”Dan engkau sendiri?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath.” [HR Al Bukhari no. 2143 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu . Lihat pula Shahihul Jami’ no. 5581]
Satu qirath = seperduapuluh dinar.
Demikian pula yang berlaku pada sebagian sahabatnya, seperti dalam riwayat berikut ini.
Abdullah bin Rafi’ menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ,”Mengapa engkau dijuluki Abu Hurairah?” Ia balik bertanya,“Apakah engkau ingin merendahkan aku?” Aku jawab,“Tidak. Demi Allah, aku amat menghormatimu.” Ia pun berkata,“Aku dahulu menggembalakan kambing-kambing milik keluargaku. Waktu itu, aku mempunyai kucing kecil yang kuletakkan di sebuah pohon pada malam hari. Siang harinya aku bermain bersamanya, maka mereka pun menjulukiku Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil).” [HR At Tirmidzi no. 3016 dengan sanad hasan. Lihat Shahih At Tirmidzi (3/235].
BERDAGANG ATAU BERNIAGA
Aktifitas dagang atau jual beli (dengan beragam bentuknya yang dibolehkan syari’at) banyak dikerjakan oleh manusia. Para nabi juga tidak lepas dari aktifitas ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ …
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan : 20].
Dan tentang RasulNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman :
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً
“Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” [Al Furqan : 7].
Imam Al Qurthubi berkata, “Masuk pasar dibolehkan untuk berniaga dan mencari penghidupan. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu masuk pasar untuk memenuhi hajatnya, disamping untuk mengingatkan manusia akan perintah Allah, berdakwah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan diri kepada kabilah-kabilah yang datang. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.” Lihat Tafsir al Qurthubi (13/5).
Ibnu Katsir, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”, beliau berkata: Yakni mereka (para rasul) adalah manusia. Mereka makan dan minum sebagaimana layaknya manusia yang lain, serta memasuki pasar untuk mencari penghasilan dan berniaga. Dan itu, tidaklah merugikan mereka lagi tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka. (Tidak) sebagaimana yang disangka oleh kaum musyrikin ketika mereka mengatakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. ” Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/175).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, ketika masa mudanya sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Beliau pernah berdagang ke negeri Syam dengan ditemani budak lelaki Khadijah yang bernama Maisarah, membawa barang-barang perniagaan milik Khadijah Radhiyallahu ‘anha sebelum menikahinya. Lihat Sirah Ibnu Hisyam (2/5-6). Pekerjaan inilah yang banyak digeluti oleh para sahabat, baik ketika masa jahiliyah maupun setelah Islam, terutama dari kalangan Muhajirin. Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Dan sesungghnya saudara-saudara kami kaum Muhajirin sibuk dengan urusan niaga di pasar. Sedangkan saudara-saudara kami kaum Anshar sibuk mengusahakan (memutar) harta mereka …” [HR Bukhari no. 118].
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha menceritakan: “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah keluar berniaga ke Bushra (Syam) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengkhususan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mencegah Abu Bakar, yaitu untuk tidak memberikan bagiannya dari barang-barang perniagaan. Hal itu karena kekaguman dan kesukaan mereka dengan usaha niaga. Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah Abu Bakar dari memperjualbelikan barang-barang niaganya karena kecintaan, kedekatan dan pengkhususannya terhadap Abu Bakar -dan sungguh bersahabat dengannya amat mengagumkan-, karena anjuran dan kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap usaha niaga.” [HR Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 23/30. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 2929]
Shakhr bin Wada’ah Al Ghamidi menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا . وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْجَيْشاً بَعَثَهُمْ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلاً تَاجِراً، وَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ.
“Ya, Allah. Berkahilah untuk umatku di pagi harinya.” Dan apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan, Beliau mengutusnya pada awal siang (pagi hari). Dan adalah Shakhr seorang pedagang; ia mengirimkan perniagaannya dari awal siang (pagi hari), maka ia pun menjadi kaya raya dan banyak harta”. [HR Abu Dawud no. 2606, At Tirmidzi no. 1212, An Nasa-i dalam As Sunan Al Kubra, no. 8833, Ibnu Majah no. 2236 dan Ibnu Hibban 11/62-63. At Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan derajatnya. Dan tidak diketahui Shakhr meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits ini.” Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib, no. 1693]
Al Barra’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak), maka keduanya menjawab: “Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, kami pernah berdagang. Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sharf (tukar menukar emas dengan perak). Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Jika dari tangan ke tangan (masing-masing langsung memperoleh barangnya), maka tidak mengapa. Tapi kalau dengan nasi’ah (dengan tempo dan masing-masing atau salah satu tidak memperoleh barangnya), maka tidak boleh’.”[4] [HR An Nasaa-i, no. 4576 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i].
Urwah bin Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu pernah berdagang sesuatu. Lalu Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:“Sungguh saya akan mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan akan memboikotmu,” maka Ibnu Ja’far memberitahukan hal itu kepada Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu . Az Zubair Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ibnu Ja’far Radhiyallahu ‘anhu : “Saya berserikat denganmu (pantner) dalam perniagaan.” Kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan berkata: “Sesungguhnya Ibnu Ja’far telah melakukan perniagaan begini …, maka boikotlah dia.” Tetapi Az Zubair berkata,“Saya adalah partnernya.” Maka Utsman berkata: “Bagaimana saya akan memboikot seseorang, sementara partnernya adalah Az Zubair.” [HR Al Baihaqi, 6/61 dan Asy Syafi’i dalam Al Musnad, 1/384. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1449].
Utsman bin Affan bercerita: Aku pernah menjual kurma di pasar, lalu aku mengatakan, “Aku telah menakarnya dalam wasaq-ku ini sekian, lalu aku membayar beberapa wasaq kurma dengan takaran (wasaq)nya dan aku mengambil keuntungan. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku, maka aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau pun menjawab,‘Apabila engkau telah menyebut takaran, maka takarlah’.” [HR Ibnu Majah, no. 2230. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 1331). Satu Wasaq = 60 shaa’ (antara 150-180 kg].
Demikian beberapa macam pekerjaan yang bisa dilakukan oleh manusia dalam mencari penghidupannya. Tentunya masih banyak lagi jenis pekerjaan yang lain, selama dibolehkan oleh syari’at. Misalnya, seperti bercocok tanam dan sebagainya.
KESIMPULAN DAN PELAJARAN.
1. Disyariatkan bekerja dan berusaha untuk menjadi sebab-sebab datangnya rezeki, demi menghindari perbuatan meminta-minta yang dilarang, kecuali dalam kondisi yang amat terpaksa [5].
2. Terdapat keutamaan bagi orang yang makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
3. Melakukan pekerjaan apa pun yang dihalalkan, tidak menurunkan martabat dan harga diri seseorang, bahkan justeru merupakan kemuliaan dan keutamaan. Karena para nabi pun bekerja mencari penghidupan.
4. Dibolehkan bagi wanita bekerja dan berwirausaha selama tidak melanggar larangan-larangan syari’at, seperti bercampur baur dengan kaum lelaki yang bukan mahram dalam pekerjaannya.
5. Bila seseorang telah dibukakan rezeki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari suatu jalan pekerjaan atau tempat, janganlah beralih kepada pekerjaan atau tempat lain yang belum jelas hasilnya, sampai Allah menutup baginya jalan yang pertama yang mengharuskannya mencari jalan lain.
6. Anjuran mengadakan aktifitas usaha pada awal siang (pagi hari), karena itu merupakan waktu yang didapati keberkahan Allah.
7. Imam Al Qurthubi berkata: Telah berkata kepadaku sebagian masyayikh (gugu-guru kaum sufi) pada masa sekarang dalam suatu perbincangan, ”Sesungguhnya para nabi diutus untuk mengajarkan sebab-sebab bagi orang-orang yang lemah,” maka saya jawab,”Perkataan ini tidak ada sumbernya, melainkan dari orang-orang yang jahil, dungu dan bodoh, atau dari seorang yang mencela Al Kitab dan As Sunnah yang mulia, padahal Allah mengabarkan dalam kitabNya tentang orang-orang pilihan, para nabi dan rasulNya (bahwa mereka) mengambil sebab-sebab dan (bekerja dengan) keahlian mereka. Maka Allah berkata dan perkataanNya adalah haq (benar):
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu..” [Al Anbiya’: 80].
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ …
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”. [Al Furqan : 20].
Para ulama mengatakan, maksudnya ialah, mereka berniaga dan memiliki keahlian (berwira usaha). Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, ‘Telah dijadikan rezekiku di bawah naungan tombakku (dari rampasan perang).’ Allah berfirman:
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلالاً طَيِّباً
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik …” [Al Anfal : 69].
Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu berniaga, memiliki keahliaan (berwira usaha), mengusahakan (memutar) harta mereka dan memerangi orang-orang kafir yang menyelisihi mereka. (Maka) apakah kamu memandang, bahwa mereka itu orang-orang yang lemah, bahkan –demi Allah- mereka itu orang-orang yang kuat, dan generasi yang shalih setelah mereka mengikuti teladan mereka. Dalam jalan mereka terdapat petunjuk dan pelajaran”. Lihat Tafsir Al Qurthubi (13/14).
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan ini dalam Tafsir Al Qurthubi (14/266-267).
[2]. Syarah Shahih Muslim (15/135).
[3]. Lihat Tafsir At Thabari (16/154-155).
[4]. Makna (dari tangan ke tangan), yakni masing-masing langsung memegang dan membawa barang hasil penukarannya. Dan (dengan nasi’ah), yakni dengan tempo dan masing-masing atau salah satu pihak tidak langsung memegang dan memperoleh barang hasil penukarannya. Contoh: seseorang mengatakan kepada yang lain “Saya tukar emas saya seberat sekian dengan perakmu seberat sekian, tapi bulan depan” atau “tapi saya ambil perakmu sekarang dan kamu ambil emas saya sebulan lagi”.
[5]. Lihat hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim 1044, Abu Dawud no. 1640, An Nasaa-i no. 2579 dan Ahmad 5/60; hadits Abdullah bin Amr z yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no.1634, At Tirmidzi no. 652 dan Ahmad 2/164 dan192; hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 1040; hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1041. Lihat Ushul Al Manhaj Al Islami, oleh Dr. Abdurrahman Al Ubayyid, hlm. 339.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar