Larangan berzina berlaku umum, baik untuk yang masih sendiri, menikah hanya dengan satu istri, atau yang berpoligami. Jangankan untuk melakukannya, mendekatinya pun dilarang. Jika alasannya menghindari zina, maka itu hanyalah sebuah alasan yang cengeng dan dicari-cari saja. Kalau sudah berkarakter pezina tanpa melakukan poligami pun ia akan mudah berzina.
Dalam sebuah hadits, Nabi ditanya, “Mengapa engkau tidak menikahi gadis Madinah yang terkenal cantik?”, (pertanyaan ini muncul ketika Islam telah makmur), jawab Nabi, “Justru karena mereka cantik, mereka takut dimadu dan aku tidak suka menyakiti perempuan untuk itu”.
Karena Nabi tidak mau ditawari, lalu ada yang mencoba menawari nikah kepada Ali bin Abi Thalib ra, -menantu nabi yang sedang beristrikan Fathimah az-Zahra- melalui Nabi. Lalu beliau saw bersabda, “Ketahuilah bahwa aku tidak setuju, aku tidak akan memberikan kecuali Ali menceraikan dulu putriku darah dagingku dan barang siapa menyakitinya sama artinya dengan menyakitiku”.
Ketahuilah, yang namanya dimadu itu sakit bagi perempuan juga menyakiti orang tua perempuan.
Istri tua yang mencarikan calon istri baru
Jika ada seorang istri yang mencarikan istri baru untuk suaminya, kita harus lihat kasusnya seperti apa. Misalnya, suami memang hiperseks, satu hari sampai lima kali minta. Secara fisik, alat kelamin bisa iritasi karena terlalu sering dalam jeda waktu yang singkat. Karena terus menerus harus melayani, lama kelamaan si istri tidak sanggup. Kemudian ia menawari suaminya untuk menambah istri. Ini kasus khusus yang tidak bisa digeneralisir dan harus melalui pengkajian yang optimal.
Memang ada pelaku poligami yang mampu secara harta, mampu secara seks, mampu secara kepribadian, bisa memimpin dua atau tiga rumah tangga, fisik oke, tetapi jumlah yang seperti ini sedikit sekali. Dan perlu diingat, walau sang suami berkemampuan (harta, seks, kepemimpinan dll), perasaan istri juga harus diperhatikan.
Mayoritas pelaku poligami di Indonesia justru secara finansial babak belur. Ada yang rumahnya masih ngontrak tapi istri dua, tiga atau empat -dengan alasan mengikuti sunnah Rasul- dan melahirkan banyak anak, tetapi sikap mereka otoriter terhadap para istri dan anaknya.
Persoalannya, leadership yang arif dan bijak menjadi penting. Bukan indoktrinasi yang harus begini dan begitu tanpa pertimbangan, ini namanya otoriter. Ini jauh sekali dengan cita ideal poligami menurut Qur'an dan Hadits.
Jika dicermati mengenai ayat poligami dalam Al-Quran bukan merupakan sebuah anjuran tetapi lebih sebagai solusi dan penulis bukan orang yang anti poligami. Penulis hanya sekadar mengkritisi praktek poligami yang sembarangan, sembrono, membuat alasan yang dicari-cari dan menimbulkan masalah. Bagaimana pula penulis anti terhadap hal yang sudah di atur dalam Al-Quran. Mengingkari satu ayat sama artinya mengingkari seluruh ayat Al-Quran. (whf/han)
Sudah jelas bahwa ayat Alquran yang diduga kuat sebagai ajaran poligami ada dalam Surat An Nisa ayat 3. Ayat inilah yang oleh sebagain pihak dijadikan landasan yuridis-teologis untuk menghalalkan poligami. Pembolehan poligami atas nama Alquran merupakan sesuatu yang tidak berdasar, pihak-pihak yang membolehkan poligami atas nama Alquran mengkaji Alquran lebih dalam, lebih seksama, dan lebih teliti lagi.
Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Mafhum al Nash Dirasah fi Ulum al Qur'an menyebutkan, pemahaman isi Alquran memerlukan dua cara. Pertama, melalui analisis struktur bahasanya. Kedua, dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Dengan kata lain, analisis harus meliputi analisis tekstual dan kontekstual.
Lebih lanjut, Abu Zayd menegaskan, penafsiran secara tekstual an sich (parsial) hanya akan berimplikasi pada hilangnya pesan suatu ayat.
Secara tekstual, ayat poligami memang berbunyi fankihu ma thaba lakum min al-nisa' matsna wa tsulatsa wa ruba' ... (nikahilah dua atau tiga atau empat perempuan yang baik menurutmu). Kalau kita membaca ayat ini berhenti sampai di sini (sepotong-potong) , wajar jika opini yang tersohor di tengah masyarakat adalah kehalalan poligami.
Namun, bila kita membaca kelanjutan ayat di atas yang berbunyi: "Fain khiftum alla ta'dilu fawahidah" (sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu perempuan saja) maka pemahaman kita tentu akan lain.
Ironisnya, ayat ini sering tidak dibaca-kalau tidak malah sengaja dilupakan. Dari ayat ini saja, ternyata persyaratan poligami yang ditentukan oleh Alquran ternyata sedemikian ketat. Yaitu, poligamos dituntut bisa berbuat adil.
Persoalannya, keadilan yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh Alquran? Keadilan dalam perspektif siapa untuk siapa?
Ada dua kosa kata dalam Alquran yang merujuk konsep keadilan. Pertama, qashata dan 'adala. Istilah pertama (qashata) lebih menunjuk keadilan yang bersifat formal-material, sedangkan istilah kedua ('adala) lebih merujuk keadilan maknawi (psikologis) yang menyangkut kualitas perasaan cinta, kasih sayang, perhatian, dan lain-lain.
Karena Alquran dalam pembahasan tentang keadilan poligami dalam Surat An Nisa: 129 lebih memilih kosa kata 'adala (walan tasthathi'u an ta'dilu...) daripada qashata, kita dapat berasumsi bahwa keadilan yang dikehendaki oleh Alquran adalah keadilan yang bersifat maknawi (immaterial) .
Dengan demikian, keadilan maknawi lebih merujuk pada perasaan welcome (legawa) dari pihak perempuan yang dimadu. Karena itu, keadilan di sini jelas menurut standar keperempuanan, bukan keadilan menurut parameter laki-laki. Hal ini sekaligus menepis anggapan para laki-laki bahwa keadilan yang dimaksud terbatas pada keadilan material, seperti harta, rumah, dan sebagainya.
Melihat persyaratan yang ekstraketat tersebut, mungkinkah poligami dapat dilakukan oleh-oleh laki-laki terhadap perempuan yang dimadu? Secara hipotetis, dengan nada yang tegas dan meyakinkan, Allah berfirman dalam kelanjutan dua ayat di atas (An Nisa: 129): "Falan tashtathi'u 'an ta'dilu baina al-nisa' walau haratstum (engkau tidak akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau berusaha keras untuk itu).
Dus, keadilan maknawi dalam perspektif nalar Alquran tidak mungkin akan terwujud melalui praktik-praktik poligami.
Dengan demikian, kata kuncinya adalah keadilan hakiki. Logikanya, jika istri yang hendak dimadu benar-benar legawa atas poligami yang dilakukan oleh suami, insya Allah poligami bisa dibenarkan. Namun, jika istri yang dimadu tidak rela poligami dilaksanakan, sesuai dengan ajaran Alquran, kita dilarang untuk berpoligami (fain khuftum alla ta'dilu fawahidah).
Perlu diketahui pula, Alquran lebih cenderung pada asumsi bahwa suami akan menemukan kesulitan berbuat adil secara psikologis (QS An Nisa: 129). Begitu juga si istri sulit menerima kenyataan poligami. Kalau toh kemungkinan pertama tersebut terjadi, hal itu sesuatu yang kasuistis.
Secara umum, hipotesis Alquran di atas merupakan sesuatu yang common sense.
Kemudian, kalau kita tinjau secara kontekstual (asbab al nuzul) turunnya ayat poligami tersebut, kita akan membaca bahwa ayat ini turun dalam konteks perlindungan terhadap para janda dan anak yatim yang telantar akibat korban perang, bukan dalam konteks pemberian kesempatan kepada laki-laki untuk sekadar melampiaskan berahi.
Jika kita memakai logika pengandaian, seandainya tidak ada peperangan yang mengakibatkan para janda dan anak yatim telantar, mungkin ayat poligami ini tidak pernah turun. Atau, skenario kedua, ayat ini turun dengan kekuatan hukum temporer dengan alasan tadarruj al hukmi yang berusaha mengeliminasi praktik poligami yang sudah telanjur mengakar sejak pra-Islam agar tidak terjadi pada masa mendatang. Proses tadarruj ini juga bisa dilihat dalam proses pembebasan perbudakan yang eksistensinya secara gradual dapat dieliminasi.
Terlepas dari itu, Alquran tidak pernah memberikan lisensi poligami tanpa strict requirement. Sebaliknya, Alquran di satu sisi memperbolehkan poligami, tapi di sisi lain melarang karena kekhawatiran tidak diindahkannya nilai-nilai keadilan di muka bumi ini.
Kalau demikian, barangkali benar apa yang dikatakan Muhammad Abduh bahwa monogami tak syak lagi merupakan watak asli pernikahan Islam, bukan poligami.
Sebagai pamungkasing wacana, ada baiknya kita merujuk pada salah satu hadis Nabi tentang keinginan Ali bin Abi Thalib memadu Fatimah yang dilarang oleh Nabi, karena hal ini hanya akan membuat ketidakadilan dan self-depriation.(18e)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar