selalu tergesa2 pergi kerja karena kesiangan dan terlambat bangun memang tak mengenakan apalagi semakin siang semakin macet ....jadi perlu dibangunkan hubungi saya pak Arief di no 081317822755 atau 087770909429 dan sms ke saya jam berapa untuk di telefon supaya dibangunkan.....
Kamis, 31 Januari 2013
Selasa, 22 Januari 2013
Jalan menuju Surga
oleh : Abdul
Qadir Jawas
عَنْ أَبِـيْ عَبْدِِ اللهِ جَابِِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأ َنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْـمُكْتُوْبَاتِ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَأَحْلَلْتُ الْـحَلاَلَ ، وَحَرَّمْتُ الْـحَرَامَ ، وَلَـمْ أَزِدْ عَلَـى ذَلِكَ شَيْئًا ، أَأَدْخُلُ الْـجَنَّةَ ؟ قَالَ : « نَعَمْ». قَالَ : وَاللهِ ، لاَ أَزِيْدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا [ رواه مسلم ]
Dari Abu ‘Abdillâh Jâbir bin ‘Abdillâh al-Anshâri Radhiyallahu anhuma bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Bagaimana pendapat Anda jika aku melakukan shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Laki-laki itu berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak akan menambah sedikit pun atas yang demikian itu.”
Puasa di bulan Ramadhan termasuk rukun Islam yang telah diketahui. Allah Azza wa Jalla berfirman:
7. Meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan adalah kekafiran.
_______
Footnote
[1]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 160).
[2]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
[3]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 46), Muslim (no. 11 ), dan Ibnu Hibbân (no. 1721-At-Ta’lîqâtul Hisân). Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[4]. Shahîh: HR. Muslim (no. 12).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/517).
[6]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 5827), Muslim (no. 94), dan Ahmad (V/166).
[7]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 3435), Muslim (no. 28), Ahmad (V/313-314), dan Ibnu Hibbân (no. 207-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit z .
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 128) dan Muslim (no. 32).
[9]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 425) Muslim (no. 33), dan Ibnu Hibbân (no. 223) dari ‘Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[10]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[12]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/523).
[14].Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/524-525) dengan diringkas.
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/526).
[16]. Shahîh: HR. Ahmad (V/233, 247), Abu Dâwud (no. 3116), dan al-Hâkim (I/351).
[17]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/527).
[18]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 631).
[19]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 657).
[20]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[21]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 38) dan Muslim (no. 760) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 164).
[23]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513).
[24]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[25]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513)
[26]. Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsîrnya (no. 1885-1886) dan al-Hâkim (II/266) dari Ibnu ‘Abbâs. Diriwayatkan pula oleh ath-Thabari (no. 1888-1889) dari Ibnu Mas’ûd.
[27]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[28]. Syarah Shahîh Muslim (I/175).
[29]. Lihat Qawâid wa Fawâid (hlm. 192-194) dengan diringkas.
[30]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[31]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6502).
[32]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 194).
Jalan Menuju Surga
عَنْ أَبِـيْ عَبْدِِ اللهِ جَابِِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأ َنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْـمُكْتُوْبَاتِ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَأَحْلَلْتُ الْـحَلاَلَ ، وَحَرَّمْتُ الْـحَرَامَ ، وَلَـمْ أَزِدْ عَلَـى ذَلِكَ شَيْئًا ، أَأَدْخُلُ الْـجَنَّةَ ؟ قَالَ : « نَعَمْ». قَالَ : وَاللهِ ، لاَ أَزِيْدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا [ رواه مسلم ]
Dari Abu ‘Abdillâh Jâbir bin ‘Abdillâh al-Anshâri Radhiyallahu anhuma bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Bagaimana pendapat Anda jika aku melakukan shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Laki-laki itu berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak akan menambah sedikit pun atas yang demikian itu.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 15 (18)),
Ahmad (III/316, 348), dan Abu Ya’ala (no. 1936, 2291), Abu ‘Awânah (I/4-5), dan
Ibnu Mandah dalam Kitâbul Imân (no. 137).
SYARAH HADITS
Orang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits ini ialah an-Nu’mân bin Qauqal al-Khuzâ’i Radhiyallahu
anhu , seorang Sahabat yang mengikuti Perang Badar dan terbunuh pada Perang
Uhud.
1. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmat
bagi seluruh alam Allah Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi manusia, menyelamatkan mereka dari
kesesatan yang akan menjerumuskan mereka ke neraka dan menuntun mereka ke jalah
hidayah yang akan menyampaikan ke surga. Jalan ke sana adalah jalan yang jelas
dan mudah. Allah Azza wa Jalla memberikan batasan-batasannya dan mewajibkan
adab-adabnya. Barang-siapa komitmen dan berpegang teguh akan disampaikan ke
surga dan barangsiapa melewati batas dan menyalahinya akan dicampakkan ke dalam
neraka. Sesungguhnya yang telah ditetapkan dan diwajibkan oleh Allah Azza wa
Jalla ada pada batas kemampuan manusia karena Allah Azza wa Jalla menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya. Inilah yang tampak
dengan jelas pada petunjuk Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits
ini dan hadits-hadits yang semisalnya. [1]
2. Rindu surga dan menempuh jalannya
Jâbir Radhiyallahu anhu menceritakan tentang seorang Mukmin yang bercita-cita masuk surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dia datang kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang jalannya dan meminta fatwa tentang amal yang akan memasukkannya ke dalam surga yang sangat luas, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada yang diinginkannya untuk mewujudkan cita-citanya.
Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Beliau menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi (Allah Azza wa Jalla ) yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang senang melihat kepada seseorang dari penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang ini.” [2]
Jâbir Radhiyallahu anhu menceritakan tentang seorang Mukmin yang bercita-cita masuk surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dia datang kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang jalannya dan meminta fatwa tentang amal yang akan memasukkannya ke dalam surga yang sangat luas, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada yang diinginkannya untuk mewujudkan cita-citanya.
Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Beliau menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi (Allah Azza wa Jalla ) yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang senang melihat kepada seseorang dari penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang ini.” [2]
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillâh Radhiyallahu anhu bahwa seorang
Arab Badui datang menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan rambutnya kusut, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ! Kabarkan kepadaku, shalat apa yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla
atasku?” Beliau menjawab, “Shalat yang lima waktu, kecuali jika engkau
mengerjakan salah satu yang disunnahkan.” Orang itu berkata, “Kabarkan kepadaku
puasa apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atasku?” Beliau menjawab, “Puasa
Ramadhan, kecuali jika engkau mau mengerjakan puasa yang sunnah.” Orang itu
berkata, “Kabarkanlah kepadaku zakat apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan
atasku?” Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkannya
tentang syari’at-syari’at Islam. Kemudian orang itu berkata, “Demi (Allah Azza wa
Jalla ) yang telah memuliakanmu dengan kebenaran, aku tidak mengerjakan suatu
amalan sunnah dan aku tidak mengurangi apa yang telah Allah Azza wa Jalla
wajibkan atasku sedikit pun.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika ia benar (jujur), ia akan beruntung.” Atau beliau bersabda,
“Jika ia benar (jujur), ia akan masuk surga.”[3]
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab
Badui bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian dia
menyebutkan hadits semakna dengan di atas dan menambahkan di dalamnya, “Haji ke
Baitullâh bagi yang mampu menuju ke sana.” Maka orang itu berkata, “Demi (Allah
Azza wa Jalla ) yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya
dan tidak akan menguranginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika ia benar (jujur), sungguh, ia akan masuk surga.”[4]
Yang dimaksud oleh orang Arab Badui itu adalah bahwa ia tidak
menambahkan ibadah-ibadah sunnah selain dari shalat yang wajib, zakat yang
wajib, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullâh. Jadi, ia bukan bermaksud tidak
mengerjakan satu pun dari syari’at-syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban
selain ibadah di atas. Hadits-hadits di atas tidak menyebutkan sikap menjauhi
hal-hal yang diharamkan, karena penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang perbuatan-perbuatan yang memasukkan pelakunya ke
surga.[5]
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang melaksanakan
kewajiban dan menjauhi apa-apa yang diharamkan maka akan masuk surga. Dan
banyak hadits-hadits yang menunjukkan bahwa masuk Surga itu dengan melaksanakan
kewajiban mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , di antaranya: diriwayatkan dari
Abu Dzar Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
bersabda:
" مَا مِنْ عَبْدٍ
قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ثُمَّ
مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلاَّ دَخَلَ
الْـجَنَّة " [رواه البخاري ومسلم ]
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan, ‘Lâ
ilâha illallâh (tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah
Azza wa Jalla ) kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, kecuali ia masuk
surga.” Aku (Abu Dzar Radhiyallahu anhu)
bertanya, “Meskipun ia berzina dan mencuri? ” Beliau menjawab, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Beliau
mengulanginya tiga kali, kemudian pada kali keempat beliau bersabda, “Meskipun
Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya.” Abu Dzar Radhiyallahu anhu pun
keluar dan berkata, “Kendati Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya.”[6]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ
مُـحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَـى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْـجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ
أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ عَلَـى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ" [ متفق عليه ]
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada
ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya; bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
hamba dan Rasul-Nya, bahwa ‘Isa adalah hamba Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya,
kalimat dan ruh-Nya yang dimasukkan kepada Maryam, bahwa surga itu benar, dan
neraka itu benar, maka Allah Azza wa Jalla memasukkannya ke dalam surga menurut
apa yang ia amalkan.” [7]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
"مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَـى النَّارِ"
“Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa
tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla
dan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya,
melainkan Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka.” [8]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَـى النَّارِ
مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ" [متفق
عليه]
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah
mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada ilâh yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla ,’ dan ia mencari wajah Allah
Azza wa Jalla dengannya.”[9]
Sejumlah Ulama mengatakan bahwa sesungguhnya kalimat tauhid
sebagai sebab masuk ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Tetapi ia
memiliki beberapa syarat, yaitu melakukan berbagai kewajiban dan menjauhi
penghalangnya yaitu menjauhi dosa-dosa besar [10]
Al-Hasan rahimahullah berkata kepada al-Farazdaq,
“Sesungguhnya kalimat lâ ilâha illallâh memiliki syarat-syarat. Maka jauhilah
olehmu menuduh zina wanita-wanita yang menjaga kehormatannya.”[11]
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah
kalimat lâ ilâha illallâh itu kunci surga?” Ia menjawab, “Benar, tetapi tidak
ada satu kunci melainkan ia mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan
kunci yang bergigi, maka engkau akan dibukakan, jika tidak, tidak akan dibukakan
baginya.”[12]
Sejumlah Ulama berkata bahwa hadits-hadits yang mutlak itu dibatasi, yaitu kalimat tauhid yang diucapkan dengan jujur (benar) dan ikhlas serta tidak melakukan maksiat terus-menerus.[13]
Realisasi hati terhadap makna lâ ilâha illallâh, kejujuran hati dengannya, dan keikhlasannya dengannya membuat hati beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya, dan membuat hati tidak menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah selain Allah Azza wa Jalla . Jika itu terjadi, maka di hati tersebut tidak ada cinta, keinginan, dan maksud kepada apa yang tidak diinginkan Allah Azza wa Jalla , dicintai-Nya, dan dikehendaki-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu dan taat kepadanya, mencintai dan membenci karenanya, maka sesuatu tersebut adalah Rabbnya. Jadi, barangsiapa tidak mencintai dan membenci kecuali karena Allah Azza wa Jalla , tidak berloyal dan memusuhi kecuali karena Allah Azza wa Jalla , sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Dan barangsiapa mencintai hawa nafsunya, membenci karenanya, berdamai dan memusuhi karenanya, maka tuhannya ialah hawa nafsunya, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla :
Sejumlah Ulama berkata bahwa hadits-hadits yang mutlak itu dibatasi, yaitu kalimat tauhid yang diucapkan dengan jujur (benar) dan ikhlas serta tidak melakukan maksiat terus-menerus.[13]
Realisasi hati terhadap makna lâ ilâha illallâh, kejujuran hati dengannya, dan keikhlasannya dengannya membuat hati beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya, dan membuat hati tidak menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah selain Allah Azza wa Jalla . Jika itu terjadi, maka di hati tersebut tidak ada cinta, keinginan, dan maksud kepada apa yang tidak diinginkan Allah Azza wa Jalla , dicintai-Nya, dan dikehendaki-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu dan taat kepadanya, mencintai dan membenci karenanya, maka sesuatu tersebut adalah Rabbnya. Jadi, barangsiapa tidak mencintai dan membenci kecuali karena Allah Azza wa Jalla , tidak berloyal dan memusuhi kecuali karena Allah Azza wa Jalla , sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Dan barangsiapa mencintai hawa nafsunya, membenci karenanya, berdamai dan memusuhi karenanya, maka tuhannya ialah hawa nafsunya, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya...”
[al-Jâtsiyah/45:23]
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Orang yang dimaksud ialah
orang yang tidak menginginkan sesuatu melainkan menurutinya.”
Qatâdah rahimahullah berkata, “Dia adalah orang yang setiap kali menginginkan sesuatu maka ia menurutinya dan setiap kali menghendaki sesuatu maka ia mengerjakannya. Wara’ dan takwa tidak dapat menghalanginya darinya.”
Qatâdah rahimahullah berkata, “Dia adalah orang yang setiap kali menginginkan sesuatu maka ia menurutinya dan setiap kali menghendaki sesuatu maka ia mengerjakannya. Wara’ dan takwa tidak dapat menghalanginya darinya.”
Demikian juga orang yang mematuhi setan dalam bermaksiat
kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia telah menjadi hambanya. Seperti
difirmankan Allah Azza wa Jalla :
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan?...” [Yâsîn/36:60]
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa realisasi makna lâ ilâha illallâh tidak sah kecuali bagi orang yang di hatinya tidak ada maksud untuk mencintai apa saja yang dibenci Allah Azza wa Jalla . Jika di hati seseorang terdapat sesuatu darinya, maka itu mengurangi tauhid dan merupakan syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu tentang firman Allah:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan?...” [Yâsîn/36:60]
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa realisasi makna lâ ilâha illallâh tidak sah kecuali bagi orang yang di hatinya tidak ada maksud untuk mencintai apa saja yang dibenci Allah Azza wa Jalla . Jika di hati seseorang terdapat sesuatu darinya, maka itu mengurangi tauhid dan merupakan syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu tentang firman Allah:
“...Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun...”
[al-An’âm/6:151]
Mujâhid rahimahullah berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku.”[14]
Mujâhid rahimahullah berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku.”[14]
Dengan demikian menjadi jelaslah makna dari sabda Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang
berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dengan benar dari
hatinya, maka Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka.” Dan bahwa orang
yang masuk neraka dari orang-orang yang mengucapkan kalimat tersebut tidak lain
disebabkan karena minimnya kejujurannya dalam mengatakannya, karena jika
kalimat tersebut diucapkan dengan jujur (benar), hati pun menjadi bersih dari
apa saja selain Allah Azza wa Jalla . Barangsiapa benar dalam mengucapkan lâ
ilâha illallâh, ia tidak akan mencintai selain-Nya, tidak mengharap kecuali
kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , tidak bertawakkal
kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , dan tidak tersisa pada dirinya untuk lebih
mendahulukan dirinya sendiri dan hawa nafsunya. Kapan saja dalam hatinya
terdapat keinginan mendahulukan selain Allah Azza wa Jalla , maka itu
disebabkan sedikitnya kejujuran dalam mengucapkannya.[15]
Makna ini diperkuat oleh hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu
anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
" مَنْ كَانَ
آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّـةَ " [ رواه أحمد
]
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah
lâ ilâha illallâh maka ia masuk surga.”[16]
Karena itu, orang yang hampir meninggal dunia hendaklah
mengucapkan kalimat " لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ "
dengan ikhlas, taubat, menyesali dosa-dosa yang lalu, dan tekad untuk tidak
mengulanginya lagi. Pendapat ini dipilih oleh al-Khaththâbi dalam kitabnya
khususnya tentang tauhid dan itu hal yang baik.[17]
3. Senantiasa melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan adalah pangkal kemenangan
An-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu bertanya apakah jika ia mengerjakan semua yang ditanyakannya dalam hadits di atas dan tidak menambahnya dengan keutamaan-keutamaan yang lain yang disunnahkan seperti mengerjakan ibadah-ibadah sunnah atau meninggalkan yang makruh, seperti wara’ terhadap hal-hal yang dimubahkan; apakah itu sudah cukup untuk dapat memasukkannya ke dalam surga yang merupakan harapan dan cita-citanya tertinggi bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan para pendahulu yang baik tanpa menyentuh adzab dan siksaan sedikit pun? Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan jawaban yang menenangkan hatinya, melapangkan dadanya, membahagiakan hatinya, memuaskan keinginannya, dan mewujudkan cita-citanya. Beliau menjawab, ”Ya.”
Jadi, apabila seorang Muslim mengerjakan yang wajib-wajib saja yang didasari dengan mengikhlaskan ibadah (tauhid) kepada Allah Azza wa Jalla dan ittibâ’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhkan apa-apa yang diharamkan, maka ia akan masuk surga sebagaimana jawaban beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Mendirikan shalat wajib di masjid
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Melakukan shalat yang fardhu.”
3. Senantiasa melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan adalah pangkal kemenangan
An-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu bertanya apakah jika ia mengerjakan semua yang ditanyakannya dalam hadits di atas dan tidak menambahnya dengan keutamaan-keutamaan yang lain yang disunnahkan seperti mengerjakan ibadah-ibadah sunnah atau meninggalkan yang makruh, seperti wara’ terhadap hal-hal yang dimubahkan; apakah itu sudah cukup untuk dapat memasukkannya ke dalam surga yang merupakan harapan dan cita-citanya tertinggi bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan para pendahulu yang baik tanpa menyentuh adzab dan siksaan sedikit pun? Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan jawaban yang menenangkan hatinya, melapangkan dadanya, membahagiakan hatinya, memuaskan keinginannya, dan mewujudkan cita-citanya. Beliau menjawab, ”Ya.”
Jadi, apabila seorang Muslim mengerjakan yang wajib-wajib saja yang didasari dengan mengikhlaskan ibadah (tauhid) kepada Allah Azza wa Jalla dan ittibâ’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhkan apa-apa yang diharamkan, maka ia akan masuk surga sebagaimana jawaban beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Mendirikan shalat wajib di masjid
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Melakukan shalat yang fardhu.”
Maksudnya, shalat fardhu yang lima waktu yang diwajibkan
Allah Azza wa Jalla atas kita dalam sehari semalam, dan pelaksanaannya harus
sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana yang beliau sabdakan:
" صَلُّوْا كَمَـا رَأَيْتُمُوْنِـيْ أُصَلِّـيْ
" [ رواه البخاري ]
”Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat.” [18]
Melakukan shalat lima waktu wajib dilakukan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian besar para Sahabat berpendapat wajibnya melakukan shalat dengan berjama’ah di masjid dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihinya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Athâ` bin Abi Rabbâh, al-Hasan al-Bashri, al-Auzâ’i, Ibnu Khuzaimah, asy-Syâfi’i, al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, Zhâhiriyyah, Ishâq bin Rahawaih dan seluruh ahlul hadits dan Hanâbilah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dan tegas yang menunjukkan kewajibannya. Di antara dalil tersebut ialah:
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلُ عَلَى الْـمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِـيْهِمَـا َلأَ تَوْهُمَـا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْـمُؤَذِّنَ فَيُقِيْمَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ آخُذَ شُعَلاً مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَـخْرُجُ إِلَـى الصَّلاَةِ بَعْدُ" [ رواه البخاري ]
Melakukan shalat lima waktu wajib dilakukan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian besar para Sahabat berpendapat wajibnya melakukan shalat dengan berjama’ah di masjid dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihinya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Athâ` bin Abi Rabbâh, al-Hasan al-Bashri, al-Auzâ’i, Ibnu Khuzaimah, asy-Syâfi’i, al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, Zhâhiriyyah, Ishâq bin Rahawaih dan seluruh ahlul hadits dan Hanâbilah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dan tegas yang menunjukkan kewajibannya. Di antara dalil tersebut ialah:
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلُ عَلَى الْـمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِـيْهِمَـا َلأَ تَوْهُمَـا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْـمُؤَذِّنَ فَيُقِيْمَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ آخُذَ شُعَلاً مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَـخْرُجُ إِلَـى الصَّلاَةِ بَعْدُ" [ رواه البخاري ]
”Tidak ada shalat yang lebih berat atas
kaum munafik dibandingkan shalat Shubuh dan ’Isya'. Seandainya mereka
mengetahui pahala yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka mendatangi keduanya
walaupun dengan merangkak. Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan
muadzin untuk mengumandangkan iqâmah kemudian aku memerintahkan seseorang
mengimami orang-orang, lalu aku mengambil seberkas api untuk membakar (rumah)
orang yang tidak keluar menuju shalat (berjama’ah).” [19]
Ini adalah dalil yang jelas tentang wajibnya shalat
berjama’ah, karena rumah orang yang meninggalkan perkara yang mustahab tidak
mungkin hendak dibakar oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak diragukan
lagi bahwa shalat fardhu apabila dikerjakan seorang hamba seperti yang
diperintahkan Allah Azza wa Jalla dan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia memiliki pengaruh yang besar bagi
jiwanya, yaitu mensucikan dan membersihkannya dari yang mengotorinya; dan
mendorong pelakunya melakukan perbuatan kebajikan dan mencegahnya dari
perbuatan tercela.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ إِنَّ الصَّلَاةَ
تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ﴾ (سورة العنكبوت: 45)
“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar…” [al-‘Ankabût/29:45]
5.
Wajibnya puasa Ramadhan
Perkataan
an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu :”Berpuasa Ramadhan.”
Puasa di bulan Ramadhan termasuk rukun Islam yang telah diketahui. Allah Azza wa Jalla berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
[al-Baqarah/2:183]
Juga berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Islam dibangun atas lima pekara: (1) Persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Azza wa Jalla , (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” [HR al-Bukhâri dan Muslim]
Juga berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Islam dibangun atas lima pekara: (1) Persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Azza wa Jalla , (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” [HR al-Bukhâri dan Muslim]
Dan seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah
salah satu rukun Islam, siapa yang mengingkarinya maka ia kafir keluar dari
Islam.
Melakukan ibadah puasa harus seperti yang diperintahkan Allah
Azza wa Jalla dan hendaklah tidak menyia-nyiakan tujuan dan kandungannya;
hingga puasanya memberikan pengaruh bagi jiwa seorang hamba sehingga dapat
mensucikannya, membersihkannya dan mewariskan ketakwaan.[20]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[21]
6. Zakat dan haji
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[21]
6. Zakat dan haji
Mengerjakan dua rukun yang diwajibkan ini, yaitu zakat dan
haji, adalah sebab diselamatkan dari neraka dan masuk surga, tanpa diadzab
terlebih dahulu. An-Nu’mân Radhiyallahu anhu tidak menyebutkan keduanya, yaitu
zakat dan haji sebagaimana ia menyebutkan tentang shalat dan puasa. Bisa jadi
karena keduanya belum diwajibkan atau bisa juga karena penanya bukan orang yang
terkena kewajiban tersebut disebabkan kefakiran atau ketidakmampuannya. Atau
karena keduanya akan memasukkan ke dalam surga, karena artinya terkandung dalam
keumuman lafazh : menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Juga
menuntut untuk mengerjakan semua yang wajib, karena di antara yang halal itu
ada yang hukumnya wajib dan meninggalkannya adalah haram.[22]
7. Meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan adalah kekafiran.
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Aku
menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.”
Sebagian Ulama menafsirkan menghalalkan yang halal dengan meyakini kehalalannya dan mengharamkan yang haram dengan meyakini keharamannya dan menjauhinya.[23] Ini sudah cukup meskipun ia tidak melakukan-nya, karena meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan atau meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan menyebabkan kekafiran.[24]
Bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan yang halal adalah dengan melaksanakannya. Halal di sini berarti sesuatu yang tidak diharamkan maka masuk kepadanya sesuatu yang wajib, sunnah, dan mubah. Jadi, makna menghalalkan yang halal ialah mengerjakan apa saja yang tidak haram dan tidak melewati apa yang diperbolehkan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.[25]
Mengenai firman Allah Azza wa Jalla:
Sebagian Ulama menafsirkan menghalalkan yang halal dengan meyakini kehalalannya dan mengharamkan yang haram dengan meyakini keharamannya dan menjauhinya.[23] Ini sudah cukup meskipun ia tidak melakukan-nya, karena meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan atau meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan menyebabkan kekafiran.[24]
Bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan yang halal adalah dengan melaksanakannya. Halal di sini berarti sesuatu yang tidak diharamkan maka masuk kepadanya sesuatu yang wajib, sunnah, dan mubah. Jadi, makna menghalalkan yang halal ialah mengerjakan apa saja yang tidak haram dan tidak melewati apa yang diperbolehkan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.[25]
Mengenai firman Allah Azza wa Jalla:
قال الله تعالى : ﴿ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ
الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ٰۖ ﴾ (سورة البقرة: 121)
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab,
mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya.
Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi.”
[al-Baqarah/2:121]
Sejumlah ulama Salaf, di antara mereka Ibnu Mas’ûd dan Ibnu
‘Abbâs menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Mereka menghalalkan apa saja
yang dihalalkan al-Kitâb, mengharamkan apa saja yang diharamkannya, dan tidak
mengubahnya dari tempat aslinya.”[26]
Yang dimaksud dengan menghalalkan yang halal dan mengharamkan
yang haram adalah mengerjakan yang halal dan menjauhi yang haram. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ
حَلَالًا طَيِّبًا ﴾ (سورة الأحزاب: 33)
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu
sebagai rezeki yang halal dan baik…” [al-Mâidah/5:87-88]
Ayat ini turun disebabkan adanya suatu kaum yang menolak
makan salah satu yang baik-baik karena zuhud terhadap dunia dan ingin hidup
sengsara. Sementara sebagian mereka mengharamkannya terhadap dirinya sendiri,
baik karena suatu sumpah atau karena memang mengharamkannya terhadap dirinya
sendiri. Namun itu semua tidak menjadikan makanan itu menjadi haram. Dan
sebagian mereka menolak makan sebagian yang baik bukan karena sumpah bukan juga
karena mengharamkannya. Mereka semua dikatakan mengharamkan yang halal, dimana
maksud menolak makanannya itu karena dianggap bisa membahayakan diri dan
menjaga diri dari syahwat-syahwatnya.[27]
8.Membolehkan perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla adalah kekafiran
8.Membolehkan perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla adalah kekafiran
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu:“Mengharamkan
yang haram.”
Imam Ibnu Shalâh rahimahullah berkata, “Yang zhâhir bahwa
yang dikehendaki dari perkataannya aku mengharamkan yang haram adalah dua hal:
pertama, meyakini keharamannya dan kedua, tidak melakukan keharaman tersebut
berbeda dengan menghalalkan yang halal; karena hal itu cukup dengan meyakini
kehalalannya.”[28]
Di antara hal yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atas kaum Muslimin ialah hendaklah mereka meyakini keharaman apa saja yang Allah Azza wa Jalla haramkan dan tidak melakukannya; karena siapa yang meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan maka ia dikafirkan meskipun ia tidak melakukan keharaman tersebut. Dan siapa yang meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan lalu ia melakukan keharaman itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya maka ia tidak dikafirkan tetapi dianggap fasik dan tetap dikatakan sebagai seorang Muslim.
Di antara hal yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atas kaum Muslimin ialah hendaklah mereka meyakini keharaman apa saja yang Allah Azza wa Jalla haramkan dan tidak melakukannya; karena siapa yang meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan maka ia dikafirkan meskipun ia tidak melakukan keharaman tersebut. Dan siapa yang meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan lalu ia melakukan keharaman itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya maka ia tidak dikafirkan tetapi dianggap fasik dan tetap dikatakan sebagai seorang Muslim.
Haram menurut definisi ulama ushûl ialah apa yang diberikan
pahala bagi orang yang meninggalkannya karena menjalankan perintah dan
diberikan siksa bagi pelakunya.
Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah Azza wa Jalla
, Pencipta manusia Yang Maha Mengetahui kemaslahatan mereka di dunia dan akhirat.
Tidak halal bagi seorang hamba melampaui hak Rabb-nya. Barangsiapa melakukannya
maka ia telah mengukuhkan dirinya sebagai tuhan bagi manusia dan sebagai sekutu
bagi Rabb-nya dalam ulûhiyyah-Nya.[29]
Tetapi yang jelas, hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa
mengerjakan kewajiban-kewajiban dan berhenti dari hal-hal yang diharamkan, ia
masuk surga.[30]
9. Bolehnya meninggalkan hal-hal yang mustahab (disunnahkan)
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?”
Maknanya: ”Aku tidak menambah pelaksanaan kewajiban tersebut dengan ibadah-ibadah sunnah.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan, ”Ya.” Ini sebagai dalil bahwa mengerjakan kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram serta tidak melakukannya dapat memasukkan seorang hamba ke surga.
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?”
Maknanya: ”Aku tidak menambah pelaksanaan kewajiban tersebut dengan ibadah-ibadah sunnah.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan, ”Ya.” Ini sebagai dalil bahwa mengerjakan kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram serta tidak melakukannya dapat memasukkan seorang hamba ke surga.
Akan tetapi orang yang meninggalkan ibadah-ibadah sunnah
telah kehilangan keuntungan yang besar, pahala yang besar. Demikian pula
ibadah-ibadah sunnah tersebut sebagai sebab mendatangkan kecintaan Allah Azza
wa Jalla . Allah berfirman dalam hadits qudsi:
.." وَلاَ يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ"... [ رواه البخاري ]
”Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.”[31]
Selain itu, ibadah-ibadah sunnah dapat menambal kekurangan yang ada pada ibadah fardhu, mengangkat derajat seorang hamba di sisi Rabb-nya, dan membersihkan jiwanya. Para ulama Salaf adalah orang yang paling semangat melakukan ibadah-ibadah sunnah.
Selain itu, ibadah-ibadah sunnah dapat menambal kekurangan yang ada pada ibadah fardhu, mengangkat derajat seorang hamba di sisi Rabb-nya, dan membersihkan jiwanya. Para ulama Salaf adalah orang yang paling semangat melakukan ibadah-ibadah sunnah.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengingatkannya tentang ibadah sunnah sebagai bentuk kemudahan dan kelapangan
kepadanya karena ia adalah orang yang masih baru memeluk Islam.[32]
FAWA-ID
HADITS
1. Penjelasan tentang semangat para Sahabat dalam bertanya tentang ilmu.
2. Kewajiban seorang Muslim ialah bertanya kepada para Ulama tentang perkara-perkara agama yang tidak diketahuinya.
3. Selayaknya bagi ahli ilmu dan para pendidik untuk memperhatikan keadaan orang yang belajar kepadanya sebelum ia menyampaikan ilmu kepadanya sehingga ia dapat memberikannya ilmu yang sanggup ia amalkan.
4. Anjuran memberi kabar gembira, memberikan kemudahan ketika menyebarkan ilmu.
5. Sederhana dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan dapat memasukkan ke surga.
6. Amal shalih adalah sebab seseorang masuk surga .
7. Prinsip pokok untuk masuk surga adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
8. Penjelasan tentang cita-cita tertinggi para Sahabat adalah masuk surga dan dijauhkan dari neraka, bukan banyaknya harta, anak, dan kedudukan di dunia.
9. Hadits ini juga sebagai bantahan terhadap thariqat Shûfiyah yang mengatakan bahwa seseorang beribadah bukan untuk masuk surga dan dijauhkan dari api neraka!
10. Bahwa seorang Muslim jika hanya mencukupkan diri dengan shalat wajib saja maka tidak ada cela baginya dan ia tidak diharamkan masuk surga.
11. Bahwa shalat dan puasa adalah salah satu sebab masuk surga.
12. Seseorang tidak boleh melarang atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Azza wa Jalla .
13. Seseorang tidak boleh menghalalkan apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla .
14. Seorang hamba yang menghindarkan diri dari yang halal tanpa sebab yang syar’i adalah tercela dan tidak terpuji.
15. Perkara haram adalah apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya atau melalui sabda Rasul-Nya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram adalah umum pada setiap yang halal dan pada setiap yang haram.
Marâji’
1. Al-Qur-ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Tafsîr ath-Thabari.
4. Shahîh al-Bukhâri.
5. Shahîh Muslim
6. Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan yang empat.
7. Musnad Abi ’Awânah.
8. Musnad Abu Ya’la al-Mushîli.
9. Mustadrak al-Hâkim.
10. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
11. Kitâbul Iman li Ibni Mandah.
12. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
13. Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]1. Penjelasan tentang semangat para Sahabat dalam bertanya tentang ilmu.
2. Kewajiban seorang Muslim ialah bertanya kepada para Ulama tentang perkara-perkara agama yang tidak diketahuinya.
3. Selayaknya bagi ahli ilmu dan para pendidik untuk memperhatikan keadaan orang yang belajar kepadanya sebelum ia menyampaikan ilmu kepadanya sehingga ia dapat memberikannya ilmu yang sanggup ia amalkan.
4. Anjuran memberi kabar gembira, memberikan kemudahan ketika menyebarkan ilmu.
5. Sederhana dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan dapat memasukkan ke surga.
6. Amal shalih adalah sebab seseorang masuk surga .
7. Prinsip pokok untuk masuk surga adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
8. Penjelasan tentang cita-cita tertinggi para Sahabat adalah masuk surga dan dijauhkan dari neraka, bukan banyaknya harta, anak, dan kedudukan di dunia.
9. Hadits ini juga sebagai bantahan terhadap thariqat Shûfiyah yang mengatakan bahwa seseorang beribadah bukan untuk masuk surga dan dijauhkan dari api neraka!
10. Bahwa seorang Muslim jika hanya mencukupkan diri dengan shalat wajib saja maka tidak ada cela baginya dan ia tidak diharamkan masuk surga.
11. Bahwa shalat dan puasa adalah salah satu sebab masuk surga.
12. Seseorang tidak boleh melarang atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Azza wa Jalla .
13. Seseorang tidak boleh menghalalkan apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla .
14. Seorang hamba yang menghindarkan diri dari yang halal tanpa sebab yang syar’i adalah tercela dan tidak terpuji.
15. Perkara haram adalah apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya atau melalui sabda Rasul-Nya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram adalah umum pada setiap yang halal dan pada setiap yang haram.
Marâji’
1. Al-Qur-ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Tafsîr ath-Thabari.
4. Shahîh al-Bukhâri.
5. Shahîh Muslim
6. Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan yang empat.
7. Musnad Abi ’Awânah.
8. Musnad Abu Ya’la al-Mushîli.
9. Mustadrak al-Hâkim.
10. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
11. Kitâbul Iman li Ibni Mandah.
12. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
13. Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
_______
Footnote
[1]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 160).
[2]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
[3]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 46), Muslim (no. 11 ), dan Ibnu Hibbân (no. 1721-At-Ta’lîqâtul Hisân). Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[4]. Shahîh: HR. Muslim (no. 12).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/517).
[6]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 5827), Muslim (no. 94), dan Ahmad (V/166).
[7]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 3435), Muslim (no. 28), Ahmad (V/313-314), dan Ibnu Hibbân (no. 207-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit z .
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 128) dan Muslim (no. 32).
[9]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 425) Muslim (no. 33), dan Ibnu Hibbân (no. 223) dari ‘Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[10]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[12]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/523).
[14].Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/524-525) dengan diringkas.
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/526).
[16]. Shahîh: HR. Ahmad (V/233, 247), Abu Dâwud (no. 3116), dan al-Hâkim (I/351).
[17]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/527).
[18]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 631).
[19]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 657).
[20]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[21]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 38) dan Muslim (no. 760) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 164).
[23]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513).
[24]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[25]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513)
[26]. Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsîrnya (no. 1885-1886) dan al-Hâkim (II/266) dari Ibnu ‘Abbâs. Diriwayatkan pula oleh ath-Thabari (no. 1888-1889) dari Ibnu Mas’ûd.
[27]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[28]. Syarah Shahîh Muslim (I/175).
[29]. Lihat Qawâid wa Fawâid (hlm. 192-194) dengan diringkas.
[30]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[31]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6502).
[32]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 194).
Yuk kita menuju Syurga..gampang kok!!!
Suatu malam, Rasulullah SAW memanggil pembantunya, Rabi’ah Ka’ab Al
Aslami, untuk mengambilkan air wudlu dan mengerjakan keperluan lain.
Usai Rabi’ah melaksanakan tugas, tiba-tiba Rasulullah bersabda, “Sekian lama engkau mengabdi kepadaku, aku belum sempat membalas jasamu. Sekarang, mintalah yang engkau suka dariku.”
Setelah berpikir sejenak, Rabi’ah menjawab, “Ya Rasulullah, aku tak berharap balas jasa. Aku cuma mohon satu hal, perkenankan aku meneruskan pengabdian melayani engkau di surga kelak.”
Permintaan Rabi’ah membuat Nabi sulit menjawab. Nabi saw sadar tak seorang pun mampu menjamin diri sendiri masuk surga, apalagi menjamin orang lain. Karena itu beliau bertanya, “Bagaimana jika diganti dengan permintaan lain?”
Cuma itu permohonan saya, wahai Nabi, tandas Rabi’ah. “Kalau begitu, bantulah aku untuk meluluskan apa yang engkau pinta dengan memperbanyak sujud." ujar Nabi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan para makhluk sampai Allah memilihkan untuknya bidadari-bidadari yang dia suka.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh al-Albani)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat, maka tidak ada yang dapat menghalanginya untuk masuk surga kecuali jika dia mati.” (HR an-Nasaa’i dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Maksudnya adalah jika dia mati, dia akan masuk surga dengan rahmat dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Sungguh aku telah melihat seorang lelaki mondar-mandir di dalam surga dikarenakan sebuah pohon yang dia tebang dari tengah jalan yang selalu mengganggu manusia” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Ada seorang lelaki berjalan melewati ranting pohon yang ada di tengah jalan, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan singkirkan ranting ini dari kaum muslimin agar tidak menganggu mereka.’ Maka dia pun dimasukkan ke dalam surga.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Barangsiapa membela harga diri saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan memalingkan wajahnya dari api neraka.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Barangsiapa yang Allah lindungi dari keburukan apa yang ada di antara kedua rahangnya (yaitu mulut) dan keburukan yang ada di antara dua pahanya (yaitu kemaluannya), niscaya dia akan masuk surga.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh al-Albani)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,”Tidaklah seorang muslim berwudhu’ lalu dia baguskan wudhu’nya, kemudian dia berdiri shalat dua raka’at dengan menghadapkan hatinya dan wajahnya pada kedua raka’at itu, melainkan surga wajib baginya.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan untuk menuju masjid, mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid atau pulang dari masjid, niscaya Allah akan persiapkan baginya nuzul di dalam surga setiap kali dia pergi dan pulang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi berkata, “Nuzul adalah makanan pokok, rizki dan makanan yang dipersiapkan untuk tamu.”
Usai Rabi’ah melaksanakan tugas, tiba-tiba Rasulullah bersabda, “Sekian lama engkau mengabdi kepadaku, aku belum sempat membalas jasamu. Sekarang, mintalah yang engkau suka dariku.”
Setelah berpikir sejenak, Rabi’ah menjawab, “Ya Rasulullah, aku tak berharap balas jasa. Aku cuma mohon satu hal, perkenankan aku meneruskan pengabdian melayani engkau di surga kelak.”
Permintaan Rabi’ah membuat Nabi sulit menjawab. Nabi saw sadar tak seorang pun mampu menjamin diri sendiri masuk surga, apalagi menjamin orang lain. Karena itu beliau bertanya, “Bagaimana jika diganti dengan permintaan lain?”
Cuma itu permohonan saya, wahai Nabi, tandas Rabi’ah. “Kalau begitu, bantulah aku untuk meluluskan apa yang engkau pinta dengan memperbanyak sujud." ujar Nabi.
Jalan menuju surga memang dipenuhi onak dan
duri. Akan tetapi sesungguhnya ada banyak amalan-amalan yang mudah
dilakukan namun Allah membalasnya dengan ganjaran yang sangat besar.
Berikut ini disajikan beberapa amalan yang insya Allah ringan diamalkan
namun bisa membawa pelakunya ke surga.
1. Berdzikir Kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى
اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى
الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ
الْعَظِيمِ
“Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan,
berat dalam mizan (timbangan amal) dan dicintai ar-Rahmaan:
‘Subhanallahu wa bihamdih’ (Maha Suci Allah dan dengan pujian-Nya kami
memuji) ‘Subhanallah al-Azhiim’ (Maha Suci Allah Dzat Yang Maha Agung).” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
لَأَنْ أَقُوْلَ: (سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر) أَحَبُّ إِلَيَّ مِمّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Saya membaca: ‘Subhanallah wal
hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar’, sungguh aku lebih
cintai daripada dunia dan seisinya.” (HR Muslim no 2695 dan at-Tirmidzi)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلًا أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang dapat menyelamatkannya dari adzab Allah melainkan dzikir kepada Allah.” (HR ath-Thabrani dengan sanad yang hasan dan al-Allamah Ibnu Baz menjadikannya hujjah dalam kitab Tuhfah al-Akhyaar)
2. Meridhai Allah, Islam dan Rasulullah
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَقُولُ
حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي ثَلَاثَ مَرَّاتٍ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا
وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba muslim mengucapkan pada saat dia memasuki waktu pagi dan memasuki waktu petang:
‘radhiitu billahi rabba, wa bil islaami diina wa bi muhammad
shallallahu ‘alaihi wa salam nabiya (aku ridha Allah sebagai Rabb-ku,
Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi-ku)’ sebanyak tiga
kali, melainkan merupakan hak bagi Allah untuk meridhainya pada hari
kiamat kelak.” (HR Ahmad dan dihasankan oleh al-Allamah Ibnu Baz dalam kitab Tuhfah al-Akhyaar)
3. Menuntut Ilmu Syar’i
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim no 2699)
4. Menahan Marah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ
يَسْتَطِيعُ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي اَيِّ الْحُورِ شَاءَ
“Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan para makhluk sampai Allah memilihkan untuknya bidadari-bidadari yang dia suka.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh al-Albani)
5. Membaca Ayat Kursi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِي دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ لَمْ يَمْنَعُهُ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةَ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ
“Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat, maka tidak ada yang dapat menghalanginya untuk masuk surga kecuali jika dia mati.” (HR an-Nasaa’i dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Maksudnya adalah jika dia mati, dia akan masuk surga dengan rahmat dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla.
6. Menyingkirkan Gangguan di Jalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهاَ مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيقِ كَانَتْ تُؤْذِي النَّاسَ
“Sungguh aku telah melihat seorang lelaki mondar-mandir di dalam surga dikarenakan sebuah pohon yang dia tebang dari tengah jalan yang selalu mengganggu manusia” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ
عَلَي ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ وَاللهِ لأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنْ
المُسْلِمِينَ لَا يُؤذِيهِمْ فَأُدْخِلَ الجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki berjalan melewati ranting pohon yang ada di tengah jalan, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan singkirkan ranting ini dari kaum muslimin agar tidak menganggu mereka.’ Maka dia pun dimasukkan ke dalam surga.” (HR Muslim)
7. Membela Kehormatan Saudaranya di Saat Ketidakhadirannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ رَدَّ عَن عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَن وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barangsiapa membela harga diri saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan memalingkan wajahnya dari api neraka.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لَحيَيْهِ وَ شَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْنِ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barangsiapa yang Allah lindungi dari keburukan apa yang ada di antara kedua rahangnya (yaitu mulut) dan keburukan yang ada di antara dua pahanya (yaitu kemaluannya), niscaya dia akan masuk surga.” (Dihasankan oleh Imam at-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh al-Albani)
8. Menjauhi Debat Kusir Walaupun Benar
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ
الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي
وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا
وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
9. Berwudhu’ Lalu Shalat Dua Raka’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,”Tidaklah seorang muslim berwudhu’ lalu dia baguskan wudhu’nya, kemudian dia berdiri shalat dua raka’at dengan menghadapkan hatinya dan wajahnya pada kedua raka’at itu, melainkan surga wajib baginya.” (HR Muslim)
10. Pergi Shalat ke Masjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan untuk menuju masjid, mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid atau pulang dari masjid, niscaya Allah akan persiapkan baginya nuzul di dalam surga setiap kali dia pergi dan pulang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi berkata, “Nuzul adalah makanan pokok, rizki dan makanan yang dipersiapkan untuk tamu.”
HBD ya Rasul
KHUTBAH PERTAMA
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Segala puji bagi Allah yang senantiasa melimpahkan karunianya kepada kita. Diantara karunia dan rahmat besar yang dilimpahkan kepada kita sebagai umat akhir zaman adalah dilahirkannya Muhammad SAW yang kemudian diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Berdasarkan hadits shahih, Rasulullah lahir pada hari Senin. Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Ar-Rakhiqul Makhtum berpendapat beliau lahir pada tanggal 9 Rabiul Awal. Namun pendapat paling masyhur menyepakati beliau lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Kelahiran Rasulullah SAW adalah rahmat yang sangat besar. Beliau, setelah diutus menjadi Nabi empat puluh tahun setelah kelahirannya, dipuji oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang menjelaskan karakter sang Nabi terakhir ini:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. At-Taubat : 128)
Dalam menjelaskan ayat ini, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengatakan, “Allah tidak mengatakan ‘rasul dari kalian’ tetapi mengatakan ‘dari kaummu sendiri’. Ungkapan ini lebih sensitif, lebih dalam hubungannya dan lebih menunjukkan ikatan yang mengaitkan mereka. Karena beliau adalah bagian dari diri mereka, yang bersambung dengan mereka dengan hubungan jiwa dengan jiwa, sehingga hubungan ini lebih dalam dan lebih sensitif.”
Sedangkan Ibnu Katsir dalam Tafsir Qur’anil Adzim berkata, “Allah SWT menyebutkan limpahan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orangy mukmin melalui seorang rasul yang diutus oleh-Nya dari kalangan mereka sendiri, yakni dari bangsa mereka dan sebahasa dengan mereka.”
Rasulullah merasakan beratnya penderitaan dan kesulitan umatnya, bahkan lebih berat bagi Rasulullah daripada apa yang dirasakan oleh umatnya sendiri. Maka setiap saat yang diperjuangkan adalah umat, yang dibela adalah umat, yang dipikirkan menjelang wafat adalah umat. “Ummatii… ummatii…”, kata Rasulullah yang selalu memikirkan umatnya menjelang wafatnya.
Rasulullah juga sangat menginginkan umatnya memperoleh hidayah serta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Maka segala hal yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada umatnya telah beliau sampaikan. Segala hal yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka beliau paparkan. Bahkan Rasulullah menyimpan doa terbaiknya untuk umatnya kelak di yaumul hisab agar umatnya beroleh syafaat. Itulah bentuk-bentuk kasih sayang Rasulullah kepada umatnya.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Lalu bagaimana sikap kita terhadap beliau yang demikian luar biasa kasih sayangnya kepada kita? Beliau yang namanya kita sebut dalam syahadat, kita bersaksi bahwa beliau adalah Rasulullah lalu kita membacanya setiap kali shalat.
Salah satu kewajiban kita terhadap beliau adalah meneladaninya. Menjadikannya sebagai teladan sepanjang zaman.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat ini menjadi pedoman bagi kita bahwa manusia terbaik yang harus kita teladani adalah Rasulullah SAW. Teladan yang seharusnya kita contoh perilakunya, kita contoh kata-katanya, kita contoh ibadah dan akhlaknya.
Dalam ayat yang lain Allah SWT menegaskan bahwa kecintaan kepada Allah baru dikatakan benar jika seseorang meneladani Rasulullah dan mengikuti sunnahnya.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Meneladani Rasulullah SAW itu artinya kita mengikuti sunnahnya dan tidak menyelisihinya. Kita mentaatinya dan tidak menentang ajarannya.
Rasulullah SAW bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Sungguh aku telah tinggalkan untuk kalian petunjuk yang terang, malamnya seperti siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku melainkan ia akan binasa. Barangsiapa di antara kalian hidup, maka ia akan melihat banyaknya perselisihan. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku, dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Mereka yang bersegera untuk mengikuti petunjuk Nabi yang diketahui melalui hadits-haditsnya akan dijanjikan surga. Sementara mereka yang enggan mengikuti sunnah Nabi, enggan mengikuti hadits Rasulullah dan lebih suka menyelisihinya akan menyesal di akhirat nanti sebab ia menolak surga dan terseret ke neraka.
Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku masuk surga selain yang enggan,” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas siapa yang enggan?” Nabi menjawab: “Siapa yang taat kepadaku (mengikuti aku) masuk surga dan siapa yang menyelisihi aku berarti ia enggan.” (HR. Bukhari)
Semoga kita tergolong umat Muhammad yang berusaha mempelajari sunnahnya, lalu mengikuti dan mengamalkannya. Semoga kita tidak tergolong orang-orang yang menyelisihi dan hadits-hadits Nabi, baik dalam hal aqidah, ibadah maupun akhlak dan muamalah.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدًى
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Segala puji bagi Allah yang senantiasa melimpahkan karunianya kepada kita. Diantara karunia dan rahmat besar yang dilimpahkan kepada kita sebagai umat akhir zaman adalah dilahirkannya Muhammad SAW yang kemudian diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Berdasarkan hadits shahih, Rasulullah lahir pada hari Senin. Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Ar-Rakhiqul Makhtum berpendapat beliau lahir pada tanggal 9 Rabiul Awal. Namun pendapat paling masyhur menyepakati beliau lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Kelahiran Rasulullah SAW adalah rahmat yang sangat besar. Beliau, setelah diutus menjadi Nabi empat puluh tahun setelah kelahirannya, dipuji oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang menjelaskan karakter sang Nabi terakhir ini:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS. At-Taubat : 128)
Dalam menjelaskan ayat ini, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengatakan, “Allah tidak mengatakan ‘rasul dari kalian’ tetapi mengatakan ‘dari kaummu sendiri’. Ungkapan ini lebih sensitif, lebih dalam hubungannya dan lebih menunjukkan ikatan yang mengaitkan mereka. Karena beliau adalah bagian dari diri mereka, yang bersambung dengan mereka dengan hubungan jiwa dengan jiwa, sehingga hubungan ini lebih dalam dan lebih sensitif.”
Sedangkan Ibnu Katsir dalam Tafsir Qur’anil Adzim berkata, “Allah SWT menyebutkan limpahan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orangy mukmin melalui seorang rasul yang diutus oleh-Nya dari kalangan mereka sendiri, yakni dari bangsa mereka dan sebahasa dengan mereka.”
Rasulullah merasakan beratnya penderitaan dan kesulitan umatnya, bahkan lebih berat bagi Rasulullah daripada apa yang dirasakan oleh umatnya sendiri. Maka setiap saat yang diperjuangkan adalah umat, yang dibela adalah umat, yang dipikirkan menjelang wafat adalah umat. “Ummatii… ummatii…”, kata Rasulullah yang selalu memikirkan umatnya menjelang wafatnya.
Rasulullah juga sangat menginginkan umatnya memperoleh hidayah serta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Maka segala hal yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada umatnya telah beliau sampaikan. Segala hal yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka beliau paparkan. Bahkan Rasulullah menyimpan doa terbaiknya untuk umatnya kelak di yaumul hisab agar umatnya beroleh syafaat. Itulah bentuk-bentuk kasih sayang Rasulullah kepada umatnya.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Lalu bagaimana sikap kita terhadap beliau yang demikian luar biasa kasih sayangnya kepada kita? Beliau yang namanya kita sebut dalam syahadat, kita bersaksi bahwa beliau adalah Rasulullah lalu kita membacanya setiap kali shalat.
Salah satu kewajiban kita terhadap beliau adalah meneladaninya. Menjadikannya sebagai teladan sepanjang zaman.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat ini menjadi pedoman bagi kita bahwa manusia terbaik yang harus kita teladani adalah Rasulullah SAW. Teladan yang seharusnya kita contoh perilakunya, kita contoh kata-katanya, kita contoh ibadah dan akhlaknya.
Dalam ayat yang lain Allah SWT menegaskan bahwa kecintaan kepada Allah baru dikatakan benar jika seseorang meneladani Rasulullah dan mengikuti sunnahnya.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Meneladani Rasulullah SAW itu artinya kita mengikuti sunnahnya dan tidak menyelisihinya. Kita mentaatinya dan tidak menentang ajarannya.
Rasulullah SAW bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Sungguh aku telah tinggalkan untuk kalian petunjuk yang terang, malamnya seperti siang. Tidak ada yang berpaling darinya setelahku melainkan ia akan binasa. Barangsiapa di antara kalian hidup, maka ia akan melihat banyaknya perselisihan. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku, dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Mereka yang bersegera untuk mengikuti petunjuk Nabi yang diketahui melalui hadits-haditsnya akan dijanjikan surga. Sementara mereka yang enggan mengikuti sunnah Nabi, enggan mengikuti hadits Rasulullah dan lebih suka menyelisihinya akan menyesal di akhirat nanti sebab ia menolak surga dan terseret ke neraka.
Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku masuk surga selain yang enggan,” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas siapa yang enggan?” Nabi menjawab: “Siapa yang taat kepadaku (mengikuti aku) masuk surga dan siapa yang menyelisihi aku berarti ia enggan.” (HR. Bukhari)
Semoga kita tergolong umat Muhammad yang berusaha mempelajari sunnahnya, lalu mengikuti dan mengamalkannya. Semoga kita tidak tergolong orang-orang yang menyelisihi dan hadits-hadits Nabi, baik dalam hal aqidah, ibadah maupun akhlak dan muamalah.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Senin, 21 Januari 2013
Contoh Surat Perjanjian Sewa menyewa ruko dan kios
CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA – MENYEWA RUMAH TOKO (RUKO)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : ----------------------------------------------
Umur : ---------------------------------------------
Pekerjaan : ---------------------------------------------
Alamat : ---------------------------------------------
Nomer KTP/SIM : ---------------------------------------------
Telepon : ---------------------------------------------
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut
PIHAK PERTAMA
2. Nama : ----------------------------------------------
Umur : ---------------------------------------------
Pekerjaan : ---------------------------------------------
Alamat : ---------------------------------------------
Nomer KTP/SIM : ---------------------------------------------
Telepon : ---------------------------------------------
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut
PIHAK KEDUA
PIHAK PERTAMA telah setuju untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA tanah
berikut bangunan berupa rumah toko (ruko) berlantai [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf --
- )] yang berdiri di atasnya yang terletak di ( --- alamat lengkap ruko --- ) dengan luas
tanah [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf --- )] meter persegi dengan sertifikat hak milik
Nomer ( ------------------------- ), gambar situasi Nomer ( -------------------- ) tanggal ( ---
tanggal, bulan, dan tahun ---- ).
Selanjutnya kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang
tertulis dalam 15 (lima belas) pasal, sebagai berikut:
Pasal Satu
Perjanjian antar kedua belah pihak ini berlaku sah untuk jangka waktu [( ------ ) ( ---
jumlah dalam huruf --- )] tahun, terhitung sejak tanggal ------ tanggal, bulan, dan tahun ------
) sampai dengan ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) dimana PIHAK PERTAMA dan
PIHAK KEDUA sepakat untuk menentukan harga kontrak atas ruko berikut tanah
pekarangannya tersebut di atas dengan nilai harga [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang
dalam huruf ------ )] untuk jangka waktu [( ------ ) ( --- jumlah dalam huruf --- )] tahun.
Pasal Dua
PIHAK KEDUA telah memberikan uang muka atau DP (Down Payment) sebagai tanda
jadi sewa sebesar [(------ ) % ( --- jumlah dalam huruf ---)] persen atau sejumlah [(Rp. -------
-----,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] pada hari ( ------------ ) tanggal ( --- tanggal,
bulan, dan tahun --- ) dan sisa pembayaran sejumlah [(Rp. ------------,00) (------ jumlah uang
dalam huruf ------ )] akan dibayarkan pada waktu penandatanganan Surat Perjanjian ini.
Pasal Tiga
1.
PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah bangunan ruko berikut pekarangannya di (
--- alamat lengkap ruko --- ) menjamin bahwa tanah dan bangunan ruko berikut
semua fasilitas yang terdapat di dalamnya adalah hak milik sahnya dan bebas dari
semua tuntutan hukum dan persoalan-persoalan yang dapat mengganggu PIHAK
KEDUA atas pemakaiannya dalam jangka waktu berlakunya surat perjanjian ini.
2.
Semua kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK PERTAMA dalam
memenuhi kewajibannya tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK
PERTAMA.
Pasal Empat
Sebelum jangka waktu kontrak seperti yang tertulis pada pasal satu Surat Perjanjian ini
berakhir, PIHAK PERTAMA tidak dibenarkan meminta PIHAK KEDUA untuk
mengakhiri jangka waktu kontrak dan menyerahkan kembali rumah tersebut kepada
PIHAK PERTAMA kecuali telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Selama jangka waktu berlakunya Surat Perjanjian ini, PIHAK KEDUA sama sekali
tidak dibenarkan untuk mengalihkan hak atau mengontrakkan kembali kepada PIHAK
KETIGA dengan dalih atau alasan apa pun juga tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari
PIHAK PERTAMA.
Pasal Enam
1.
PIHAK PERTAMA bertanggung jawab seluruhnya akibat dari kerusakan
maupun kerugian yang disebabkan oleh kesalahan struktur dari bangunan ruko
tersebut.
Yang dimaksudkan dengan struktur adalah sistim konstruksi bangunan yang
menunjang berdirinya bangunan, seperti: pondasi, balok, kolom, lantai, dan
dinding.
2.
PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan mengubah struktur dan instalasi dari unit
ruko tersebut tanpa ijin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
3.
PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas kerusakan struktur sebagai akibat
pemakaian.
4.
PIHAK KEDUA tidak bertanggung jawab atau dibebaskan dari segala ganti rugi
atau tuntutan dari PIHAK PERTAMA yang terjadi akibat kerusakan pada
bangunan ruko yang diakibatkan oleh force majeure.
Yang dimaksud dengan Force majeure adalah hal-hal yang disebabkan oleh faktor
extern yang tidak dapat diatasi maupun dihindari, seperti: banjir, gempa bumi,
tanah
longsor,
petir,
angin
topan,
kebakaran,
huru-hara,
kerusuhan,
pemberontakan, dan perang.
Pasal Tujuh
Dalam perjanjian sewa-menyewa ini sudah termasuk hak bagi PIHAK KEDUA untuk
menggunakan semua fasilitas yang telah terpasang sebelumnya pada bangunan ruko
yang disewa.
Fasilitas-fasilitas tersebut adalah:
1.
Listrik,
2.
Saluran nomor telepon,
3.
Saluran air dari PDAM.
Selama jangka waktu kontrak berlangsung, PIHAK KEDUA berkewajiban untuk
membayar semua tagihan-tagihan atau rekening-rekening serta biaya-biaya lainnya
atas penggunaan semua fasilitas tersebut. Segala kerugian yang timbul akibat kelalaian
PIHAK KEDUA.
Pasal Delapan
PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas berlakunya peraturan-peraturan Pemerintah
yang menyangkut perihal pelaksanaan perjanjian ini, misalnya: Pajak-pajak, Iuran
Retribusi Daerah (IREDA), dan lain-lainnya.
Pasal Sembilan
PIHAK KEDUA berkewajiban untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketenteraman
lingkungan.
Pasal Sepuluh
Setelah berakhir jangka waktu kontrak sesuai dengan pasal satu Surat Perjanjian ini,
PIHAK KEDUA diharuskan segera mengosongkan rumah dan menyerahkannya
kembali kepada PIHAK PERTAMA serta telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan
pasal tujuh dan delapan dari Surat Perjanjian ini.
Pasal Sebelas
Apabila PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bermaksud melanjutkan perjanjian
kontrak, maka masing-masing pihak harus memberitahukan terlebih dahulu minimal [(
------ ) ( --- jumlah dalam huruf --- )] bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
Pasal Dua Belas
PIHAK KEDUA mendapat prioritas pertama dari PIHAK PERTAMA untuk
memperpanjang
masa penyewaan
berikutnya
sebelum PIHAK
PERTAMA menawarkan kepada calon-calon penyewa lainnya.
Pasal Tiga Belas
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersepakat untuk menempuh jalan
musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan hal-hal atau perselisihan yang
mungkin timbul sehubungan dengan Surat Perjanjian ini. Apabila jalan musyawarah
dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan penyelesaian yang melegakan kedua belah
domisili pada ( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------ ).
Pasal Empat Belas
Surat Perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak dengan dasar akal sehat dan pikiran
sehat tanpa adanya paksaan maupun tekanan dari pihak-pihak manapun.
Pasal Lima Belas
Surat Perjanjian ini ditandatangani di ( --- tempat --- ) pada hari ( --------------- ) ( ---
tanggal, bulan, dan tahun ---- ) dan berlaku mulai tanggal tersebut sampai dengan
tanggal ( --- tanggal, bulan, dan tahun ---- ).
( --- tempat, tanggal, bulan, dan tahun ---)
PIHAK PERTAMA
PIHAK KEDUA
[ ------------------------- ]
[ ------------------------ ]
SAKSI-SAKSI:
[ --------------------------- ] [ --------------------------- ]
SURAT PERJANJIAN SEWA / KONTRAK KIOS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Susila Bimbang Yudayanah
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Susila Bimbang Yudayanah
Alamat : Puri Cikaos No 1-6 blok A Bogor
No. SIM : x
Pekerjaan : x
Selanjutnya disebut Pihak Pertama (I)
Pekerjaan : x
Selanjutnya disebut Pihak Pertama (I)
Dengan ini menerangkan bahwa :
Nama : Abdurohman hiji
Alamat : y
No. KTP : y
Pekerjaan : y
Selanjutnya disebut Pihak Kedua (II)
Nama : Abdurohman hiji
Alamat : y
No. KTP : y
Pekerjaan : y
Selanjutnya disebut Pihak Kedua (II)
Dalam hal ini, Pihak Pertama (I) menyewakan/mengontrakkan kios dengan ukuran 2 x 5 meter kepada Pihak Kedua (II) yaitu sebuah bangunan, dinding batu batako, atap asbes, lantai semen, berikut aliran listrik yang beralamat di Jalan Pemuda No.1 Depok
Sewa tersebut dilangsungkan dan diterima dengan harga Rp. 15.200.000,- selama dua tahun. terhitung mulai tanggal 01 Desember 2012 s/d 31 Desember 2013 yang mana uang sewa tersebut telah dibayarkan oleh Pihak Kedua (II) kepada Pihak Pertama secara Tunai, maka :
Pihak Kedua (II) sebagai pengontrak menjamin bahwa, kios tersebut :
(a) Tidak disewakan kepada orang lain.
(b) Tidak dijaminkan atau digadaikan untuk pelunasan suatu hutang.
(c) Pihak Kedua (II) wajib memelihara dan memperbaiki kerusakan-kerusakan terhadap kios tersebut selama masa kontrak.
(d) Kios yang disewakan tersebut sebagai kios tinggal, apabila di kemudian hari dipergunakan untuk hal-hal yang dapat menyalahi / melanggar hukum, di luar tanggung jawab Pihak Pertama (I).
(e) Tidak diperbolehkan menambah / mengurangi bangunan tersebut kecuali ada kesepakatan / persetujuan dari Pihak Pertama (I).
(f) Apabila dikehendaki dapat diperpanjang setelah jangka waktu selesai, dengan harga sewa dan syarat-syarat yang akan ditetapkan kemudian secara musyawarah dan mufakat sekurang-kurangnya dua bulan sebelum masa berakhir sewa.Pihak Kedua (II) sebagai pengontrak menjamin bahwa, kios tersebut :
(a) Tidak disewakan kepada orang lain.
(b) Tidak dijaminkan atau digadaikan untuk pelunasan suatu hutang.
(c) Pihak Kedua (II) wajib memelihara dan memperbaiki kerusakan-kerusakan terhadap kios tersebut selama masa kontrak.
(d) Kios yang disewakan tersebut sebagai kios tinggal, apabila di kemudian hari dipergunakan untuk hal-hal yang dapat menyalahi / melanggar hukum, di luar tanggung jawab Pihak Pertama (I).
(e) Tidak diperbolehkan menambah / mengurangi bangunan tersebut kecuali ada kesepakatan / persetujuan dari Pihak Pertama (I).
Apabila dalam perjanjian sewa menyewa ini berakhir, Pihak Kedua (II) harus mengembalikan kios tersebut dalam keadaan kosong, rekening listrik telah dilunasi serta terpelihara baik, tepat pada waktunya kepada Pihak Pertama (I).
Demikian Surat Perjanjian ini dibuat atas persetujuan antara Pihak Pertama (I) dan Pihak Kedua (II) secara musyawarah dan mufakat serta dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
Ambarawa, 1 Desember 2012
Pihak Pertama (I) Pihak Kedua (II)
TTD Materai & TTD
( Susila Bimbang Yudayanah ) (Abdurohman hiji)
Menyaksikan,
(Saksi)
( )
Langganan:
Postingan (Atom)